kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengelola DPLK siap jalani aturan besaran komisi


Selasa, 15 November 2016 / 22:08 WIB
Pengelola DPLK siap jalani aturan besaran komisi


Reporter: Agung Jatmiko, Dikky Setiawan, Tendi Mahadi | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Jika rencana ini berjalan mulus, mulai Januari tahun, para pelaku di industri dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) bakal punya patokan dalam menentukan besaran fee alias komisi yang dibebankan kepada peserta. 

Pasalnya, Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan atau PDPLK tengah menggodok aturan soal besaran komisi yang bisa dipungut oleh perusahaan pengelola DPLK dari para nasabahnya.

Maklum, selama ini tidak ada ketentuan yang mengatur tarif perusahaan DPLK dalam mengelola dana nasabah. Alhasil, perusahaan dengan aset besar justru mengenakan tarif rendah sehingga perusahaan beraset kecil enggak bisa bersaing. 

Nah, dengan adanya aturan fee, kelak perusahaan pengelola DPLK enggak bisa lagi menerapkan besaran komisi seenaknya. Sebab, sesuai rencana, besaran komisi yang akan diatur terbagi ke dua kelompok berdasarkan aset perusahaan. Jadi, tiap kelompok memiliki batas bawah dari tarif yang dikenakan.

Wakil Ketua PDPLK Nur Hasan Kurniawan mengatakan, pada kelompok pertama, aturan komisi akan diberlakukan bagi DPLK yang dengan nilai aset di bawah Rp 2 triliun. Kelompok ini bisa mematok tarif minimal sebesar 0,6% per tahun dari dana peserta. 

Sementara itu, kelompok kedua berisi DPLK dengan aset di atas Rp 2 triliun. Batas bawah dari fee kelompok ini adalah 0,8% tiap tahun. “Sementara efektifnya mulai berlaku pada 2 Januari 2017,” kata Nur Hasan.

Persaingan lebih sehat

Dengan patokan batas minimal ini, diharapkan persaingan di industri pengelolaan dana pensiun bisa makin sehat. Perusahaan besar maupun perusahaan kecil bisa memberikan pelayanan yang sama kepada nasabah. Selain itu, pengaturan tarif ini juga bisa memberikan transparansi kepada nasabah.

Betul, tanpa ada patokan besaran fee, kata Nur Hasan, ada sejumlah implikasi yang terjadi. Di antaranya, calon nasabah DPLK cenderung lebih memilih mempersiapkan dana hari tuanya di DPLK yang dana kelolaannya sudah besar. Sehingga, DPLK skala kecil kesulitan untuk bisa menggenjot dana kelolaan mereka.

Selain itu, tanpa ada batas bawah, ada DPLK memasang tarif terlalu rendah. Kondisi ini dikhawatirkan mengganggu kondisi keuangan DPLK. “Secara logika, komisi yang dikenakan sebenarnya sulit masuk hitung-hitungan bisnis karena DPLK juga, kan, ada beban yang harus ditanggung,” ujar dia.

Rencana aturan besaran komisi itu tampaknya sudah mendapat lampu hijau dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menyatakan enggak akan mencampuri rencana PDPLK untuk membuat pengaturan tarif pengelolaan dana. Regulator menilai, pengaturan komisi bisa diselesaikan secara internal di asosiasi."Seoptimal mungkin, soal fee diselesaikan di antara anggota PDPLK,” kata Darul Dimasqy, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2A OJK.

Berdasarkan data OJK, sampai September 2016, ada 25 perusahaan pengelola DPLK dengan total aset mencapai Rp 60,4 triliun. Dalam sembilan bulan, aset DPLK itu mencatat pertumbuhan sebesar 25,8% jika dibandingkan posisi pada akhir tahun 2015.

Tentu saja, rencana aturan komisi itu disambut positif oleh sejumlah pengelola DPLK. Direktur Utama Mandiri DPLK Syah Amondaris mengatakan, aturan komisi akan melindungi industri DPLK. Sebab, selama ini tidak ada aturan yang mematok besaran fee DPLK. 

Para pengelola DPLK menentukan sendiri besaran komisi yang dipungut kepada nasabahnya. Karena tidak diatur, akhirnya para pengelola DPLK berlomba memasang fee yang rendah kepada nasabahnya. 

Padahal, konsekuensi memasang komisi rendah ialah kecilnya keuntungan perusahaan. “Nah, lama-lama perusahaan dengan modal tak terlalu kuat bisa mati karena keuntungan semakin kecil. Kalau DPLK yang kecil kalah bersaing, mereka bisa mati,” kata Syah.

Sayang, Syah enggan membeberkan besaran fee yang dikutip Mandiri DPLK kepada nasabahnya. Yang jelas, kata dia, hingga kuartal III tahun ini, dana kelolaan Mandiri DPLK sudah mencapai Rp 6,8 triliun.

Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Pengurus DPLK Muamalat S.S. Setiawan menuturkan, memang sudah saatnya industri DPLK punya aturan soal management fee

Alasannya, selama ini persaingan industri DPLK tidak lagi sehat akibat perusahaan pengelola berlomba menurunkan fee demi menjaring nasabah. “Efeknya, keuntungan pengelola DPLK semakin terpangkas. Aturan  minimum fee ini akan membuat persaingan lebih sehat dan fair,” katanya.

Akibat tidak ada aturannya, para perusahaan DPLK memiliki kebijakan sendiri-sendiri dalam menetapkan besaran fee. “Tak jarang kebijakan soal fee menjadi tak terkontrol, tidak sehat. Semakin dia memangkas fee semakin kecil pula keuntungannya dan bisa-bisa tak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah,” ujar Setiawan.

Dia menambahkan, meskipun pertumbuhannya terbilang lebih kecil ketimbang industri jasa keuangan lain, keberadaan lembaga pengelola dana pensiun sangat diperlukan. Apalagi, dari total pekerja di Indonesia, sampai saat ini baru sekitar 5% yang sudah mempersiapkan dana untuk kebutuhan pensiunnya. 

Sementara pada 2025 mendatang, diperkirakan ada 40 juta orang yang akan pensiun. Kalau dibiarkan bergerak dalam kondisi yang tanpa aturan, dampaknya akan mematikan banyak pemain DPLK.

Memang, penetrasi pasar industri DPLK secara umum masih terbilang rendah. Makanya, dia bilang, potensi pertumbuhan pun terbilang masih luas untuk digarap. Termasuk, dari segmen ritel yang mulai digarap serius oleh DPLK Muamalat.

Terlebih, sejalan dengan dibukanya industri dana pensiun menggarap pasar syariah tentu dapat mempengaruhi perolehan dana kelolaan DPLK Muamalat. Kelak, komunitas keagamaan, seperti sekolah, rumahsakit hingga organisasi masyarakat (ormas) dapat memiliki pilihan produk dana pensiun syariah.

Pada Oktober 2016, OJK sudah menerbitkan aturan main soal dana pensiun syariah. Dana pensiun bisa masuk pasar syariah lewat sejumlah cara. 

Setiawan menambahkan, besaran minimum fee yang sudah disepakati lewat PDPLK sudah cukup untuk saat ini. 
Pembagian aset di bawah Rp 2 triliun dengan minimum 0,6% serta aset di atas Rp 2 triliun dengan besaran minimum 0,8% sudah cukup mewakili kebutuhan dari industri. 

Aturan ini dinilai mampu mengawal industri bergerak ke arah lebih kompetitif. “Menurut saya, untuk kondisi saat ini, besaran 0,6% paling pas ditetapkan bagi perusahaan DPLK yang memiliki aset di bawah Rp 2 triliun dan nilainya tidak terlalu kecil,” imbuh Setiawan.

Cuma, ia enggan buka-bukaan soal pendapatan fee yang diterima DPLK Bank Muamalat. Namun, dengan asset under management (AUM) sekitar Rp 1 triliun hingga September 2016, DPLK Muamalat sendiri sudah menetapkan fee di kisaran 0,6% per tahun. Jadi, kata Setiawan, pihaknya sudah siap menjalani aturan komisi minimum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×