Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil riset Kredivo dan Katadata Insight Center melaporkan pengguna layanan paylater dalam platform e-commerce naik signifikan dari 28,2% di 2022 menjadi 45,9% di 2023. Selain itu, terjadi peningkatan yang signifikan dalam proporsi pengguna paylater yang telah menggunakannya selama lebih dari 1 tahun untuk bertransaksi di e-commerce, yakni naik dari 55,9% pada tahun 2022 menjadi 78,6% pada 2023.
Tentu hasil riset itu mengartikan makin meningkatnya masyarakat Indonesia yang tak ragu untuk berutang di e-commerce melalui paylater. Lantas, potensi kredit macet pun bisa menghantui perusahaan yang menyediakan layanan paylater.
Terkait hal tersebut, Pengamat Teknologi/Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan berutang melalui paylater memang memiliki keunggulan tersendiri.
Baca Juga: Ekonom Minta Pemerintah Segera Atur Social Commerce, Ini Alasannya
Sebab, masyarakat bisa langsung memiliki barang yang diinginkan dengan membayarnya nanti. Namun, hal itu juga harus diperhatikan oleh para perusahaan.
"Timbul budaya bayar nanti yang penting punya dahulu. Tentu perilaku berutang lewat paylater tersebut harus diawasi agar tak terjadi kredit macet," ucap Heru kepada Kontan.co.id, Jumat (16/6).
Heru menyebut jangan sampai pengawasan lengah sehingga paylater berpotensi menjadi kasus baru seperti fintech peer to peer lending atau peminjaman online (pinjol).
Dia menganggap tingkat kredit macet pinjol saat ini sebesar 2,82% per April terbilang cukup besar.
Oleh karena itu, Heru menyampaikan perusahaan perlu mengantisipasi sedari dini agar masyarakat yang menggunakan layanan paylater tak terjadi kredit macet.
"Misalnya, membatasi jumlah transaksi, nlai transaksi, dan credit scoring juga harus dipastikan dengan data sehingga pengguna paylater secara finansial bisa membayar. Sama kayak pinjol, juga harus ada screening," ungkapnya.
Selain itu, Heru juga mengimbau kepada masyarakat hendaknya layanan paylater digunakan untuk membeli produk yang produktif bukan kebanyakan konsumtif. Menurutnya, kredit macet lebih berpotensi terjadi pada pembelian kebutuhan konsumtif.
"Jadi, memang harus untuk hal-hal yang produktif. Masyarakat juga harus mengerti bhawa paylater itu utang sehingga diharuskan membayar," ujar Heru.
Heru juga menyarankan masyarakat sebaiknya hanya menggunakan layanan paylater untuk keperluan yang mendesak saja, tetapi tetap harus memperhatikan pembayaran nantinya.
Baca Juga: Punya Prospek Cerah, OJK: Bisnis Paylater Dihadapkan Sejumlah Tantangan
Dia juga mengimbau masyarakat harus melihat harga barang tersebut terjangkau atau tidak sehingga bisa membayarnya di kemudian hari.
Sebagai informasi, dalam riset tersebut, kemudahan layanan paylater juga menjadi pendorong daya beli masyarakat dalam berbelanja online atau melalui e-commerce.
Adapun persentasenya mencapai 16,2%, lebih tinggi dibandingkan belanja dengan metode transfer bank atau virtual account 10,2%. Adapun urutan pertama masih ditempati oleh e-wallet sebesar 46,8% dan disusul cash on delivery 22,6%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News