Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penurunan suku bunga kredit perbankan di tahun ini, diperkirakan akan terus berlanjut. Meski begitu, penurunan suku bunga kredit konsumsi diprediksi akan lebih lambat ketimbang kredit investasi dan modal kerja.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, penurunan bunga kredit perbankan tahun ini masih akan berkiatan dengan transmisi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pada tahun 2020 yang belum sepenuhnya optimal.
Tahun lalu, BI memang telah menurunkan bunga acuan BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) sebanyak 125 basis poin (bps). Hasil dari kebijakan itu, suku bunga konsumsi masih baru turun 65 bps, sementara suku bunga modal kerja turun 88 bps dan suku bunga kredit investasi turun 102 bps.
Penyesuaian penurunan suku bunga kredit perbankan yang cenderung lambat itu, menurut Josua, dipengaruhi oleh risiko kredit yang cenderung meningkat di masa pandemi. "Terutama karena adanya penurunan aktivitas ekonomi dari sisi permintaan dan penawaran," katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (5/2).
Baca Juga: LPS pastikan likuiditas perbankan stabil dan merata
Sementara itu, dari sisi likuiditas perbankan sejatinya masih sangat longgar. Tercermin dari alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang cenderung tinggi yakni 31,67% pada Desember 2020. Sementara suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight (O/N) turun sekitar 184 bps sepanjang tahun 2020.
Nah, kondisi likuiditas yang longgar tersebut mengindikasikan bahwa cost of fund (CoF) cenderung turun. Khususnya untuk bank pelat merah (Himbara) yang didukung oleh penempatan dana pemerintah sesuai dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Ke depan, penurunan suku bunga kredit konsumsi akan lebih lebih rendah dibandingkan kredit investasi dan modal kerja. Penyebabnya, perbankan tentu mempertimbangkan risk premium kredit konsumsi yang cenderung lebih tinggi dibandingkan jenis kredit lain.
Selain itu, bank juga tidak ingin terburu-buru mendorong kredit konsumsi lantaran kebijakan restrukturisasi kredit yang diimplementasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih fokus pada restrukturisasi kredit produktif. "Karakteristik risk premium kredit konsumsi yang lebih tinggi jugalah yang mendorong mengapa rata-rata suku bunga kredit konsumsi industri juga masih double digit," imbuh Josua.
Besaran bunga kredit konsumsi secara rata-rata memang selalu lebih tinggi dibandingkan bunga kredit modal kerja dan investasi yang sudah single digit. Ke depannya, kata Josua, suku bunga kredit modal kerja lebih punya potensi lebih besar untuk turun.
Sebab, permintaan kredit modal kerja hampir bisa dipastikan akan pulih lebih awal, dengan catatan bahwa pemulihan ekonomi domestik akan berimplikasi pada meningkatnya permintaan kredit untuk modal kerja.
Selanjutnya: Begini cara bank BUKU II dan III berburu dana murah pada tahun 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News