Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Terhitung mulai hari Kamis (18/7), Bank Indonesia (BI) menambah satu lagi instrumen operasi moneternya, yakni lelang swap valuta asing (valas). Ini adalah lelang menyerap likuiditas valas perbankan. Maklum, likuiditas valas yang berlebih acap kali menjadi ajang para spekulan untuk memainkan rupiah.
Dalam transaksi ini, BI menawarkan pembelian valas di pasar spot sebanyak US$ 500 juta dengan tenor penjualan kembali satu bulan, tiga bulan dan enam bulan.
Penawaran ini langsung kebanjiran peminat atau oversubcribed hingga US$ 1,24 miliar. Ada 20 bank yang ikut lelang valas dengan mekanisme swap valas dengan patokan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) per Kamis (18/7) yakni Rp 10.056 per dollar Amerika Serikat.
Namun, di akhir lelang, BI memutuskan untuk menyerap valas US$ 600 juta. Perinciannya: tenor satu bulan US$ 330 juta dan sisanya enam bulan.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah menjelaskan, dalam transaksi ini, ada premi swap yang harus dibayar bank yakni Rp 43 per dollar untuk tenor satu bulan, dan Rp 330,8 per dollar untuk swap dengan tenor enam bulan.
Ilustrasinya begini: Bank A ikut lelang swap beli US$ 100 juta selama satu bulan. BI membeli dollar bank A senilai US$ 100 juta dengan kurs Rp 10.056 per dollar. Satu bulan ke depan, bank A akan membeli kembali valas itu dengan kurs yang sama dengan tambahan premi 43 poin. Dengan begitu, bank harus membeli US$ 100 juta dengan kurs Rp 10.099 per dollar AS.
Walhasil, jika rupiah menguat sebulan ke depan, bank akan rugi selisih kurs. Sebaliknya, jika rupiah melemah, bank akan untung.
Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, lelang ini adalah upaya operasi moneter BI dalam mengelola likuiditas valas dan rupiah. Lelang ini juga bisa menjadi instrumen lindung nilai (hedging) atas kebutuhan likuiditas valas bagi investor dari risiko nilai tukar rupiah.
BI meyakini bauran kebijakan yang ditempuhnya akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, dan stabilitas sistem keuangan.
Namun, Ekonom Bank BCA David Sumual menilai, instrumen ini tak akan efektif menstabilkan rupiah. Otot kuat dan lemahnya rupiah tergantung suplai dan demand. Selama ekspor lemah dan investasi turun, rupiah akan tertekan. Kepala Ekonom BII Juniman memprediksi, dalam jangka pendek, rupiah masih akan melemah di Rp 10.000-Rp 10.200 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News