Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menyebut permintaan kredit korporasi mulai meningkat pada September 2020, dan akan tetap tinggi sampai akhir tahun. Sayang sejumlah bankir mengaku, tak tergesa-gesa melakukan ekspansi, kredit bakal tetap disalurkan sangat hati-hati.
“Kebutuhan pembiayaan korporasi diindikasi meningkat pada September 2020, sejalan dengan hasil survei kepada korporasi, perbankan yang juga menyampaikan peningkatan penawaran serta melonggarkan kebijakan penyaluran pembiayaan,” ungkap Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Yati Kurniati dalam paparannya, Rabu (14/10).
Per September Suku Bunga Tertimbang (SBT) kebutuhan pembiayaan korporasi berada pada level 6,2%. Meningkat pesat dibandingkan Agustus 2020 yang tercatat negatif 3,5%. Sedangkan sampai Desember 2020 kebutuhan diindikasi masih tetap tinggi dengan SBT 9,0%.
Baca Juga: Permintaan kredit korporasi meningkat, saat tepat untuk berekspansi?
Dalam paparannya, Yati juga menjelaskan sektor industri pengolahan jadi jadi penopang pertumbuhan. Terutama berasal dari pengolahan makanan, dan minuman, barang logam, alat angkut, dan kimia.
Direktur Wholesale Banking PT Bank Permata Tbk (BNLI) Darwin Wibowo juga sepakat, korporasi besar yang reatif tak terimbas pandemi memang masih jadi tumpuan mengerek kredit, terutama segmen kredit investasi. “Permintaan selalu ada, terutama di segmen kredit investasi apalagi buat korporasi yang siap-siap untuk operasional tahun depan, saat kondisi diprediksi akan mulai membaik,” katanya kepada KONTAN.
Merujuk paparan Bank Indonesia, pendanaan memang dibutuhkan untuk, pertama buat menunjang aktivitas operasional, sedangkan kedua buat mendukung pemulihan kegiatan perusahaan pascapandemi berakhir.
Sedangkan merujuk Bank Permata sampai akhir semester I-2020, portofolio kredit tumbuh negatif 4,61% (ytd). Kredit investasinya justru tumbuh 7,22% (ytd), dari Rp 18,32 triliun akhir tahun lalu menjadi Rp 19,64 triliun.
Baca Juga: BI rate tetap 4%, bagaimana nasib bunga kredit?
Sektor pengolahan makanan dan minuman, fast moving consumer goods (FMCG) disebut Darwin jadi penopang utama tumbuhnya kredit investasi perseroan. Darwin pun mengaku peningkatan kebutuhan pembiayaan ini bisa jadi kesempatan ekspansi perseroan. “Kami selalu cari kesempatan untuk ekspansi, namun kredit akan tetap diberikan secara hati-hati kepada debitur yang dengan reputasi baik, dan kondisi keuangan yang kuat,” sambungnya.
Adapun Senior Vice President Economics & Strategy Research DBS Bank Radhika Rao bilang makin rendahnya bunga acuan Bank Indonesia juga turut menciptakan momentum optimisme korporasi.
“Optimisme korporasi mulai muncul seiring pemangkasan bunga acuan Bank Indonesia ke level favourable rate. Ini memang waktu yang tepat buat korporasi mengajukan refinancing, atau kredit modal kerja,” katanya dalam Webinar bertajuk DBS Macro Economics Insights: Recovering from Covid-19, Kamis (15/10).
Pun Radhika sepakat sektor industri pengolahan jadi salah satu penopang, mengingat mulai bangkitnya permintaan barang elektronik, dan semi konduktor dari Cina yang berdampak terhadap produksi di negara Asean, termasuk Indonesia.
Sementara Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma menyatakan meningginya kebutuhan pendanaan korpoasi tak akan serta merta mengerek pertumbuhan kredit perbankan tanah air. “Kalau perusahaan butuh pendanaan, tidak berarti bank akan beri kredit. Karena mereka juga mesti menyinkronkan kebutuhan dan kondisi industrinya sekaligus aspek prudensial dari perbankannya,” ungkapnya kepada KONTAN.
Kembali merujuk paparan Bank Indonesia, pendanaan dari perbankan memang belum jadi prioritas menopang kebutuhan, korporasi utamanya akan mengandalkan kas perusahaan dari laba ditahan.
Baca Juga: Fintech dan e-commerce berkolaborasi mendorong pembiayaan di masa pandemi
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiatmadja pun mengatakan hal senada. menurutnya pertumbuhan kredit juga tak akan terkerek tinggi meski kebutuhan meningkat. Alasannya, penggunaan dana juga akan digunakan membayar utang-utang perusahaan.
“Permintaan baru ada, namun yang mengembalikan dana ke bank juga banyak. Karena saat perusahaan dapat uang dari bank mereka mesti bayar utang juga untuk mengurangi beban bunganya,” jelas Jahja.
Adapun buat menyalurkan kredit anyar kepada korporasi Jahja juga bilang bakal tetap disalurkan dengan hati-hati sekaligus selektif memilih debitur guna menjaga kualitas portofolio perseroan.
Maklum, meski segmen korporasi tumbuh 8,89% (ytd) menjadi Rp 257,93 triliun sekaligus menopang pertumbuhan portofolio kredit BCA, segmen korporasi juga tercatat mengalami pemburukan kualitas kredit paling tinggi.
Baca Juga: Hingga September, fintech Alami salurkan pembiayaan syariah lebih dari Rp 200 miliar
Akhir tahun lalu, dari total non performing loan BCA senilai Rp 8,0 triliun, kredit korporasi menyumbang 19,8% atau setara Rp 1,58 triliun. Sementara pada Juni 2020 dengan NPL senilai Rp 12,5 triliun, kredit korporasi berkontribusi terhadap 29,4% atau setara Rp 3,73 triliun, nilai tersebut meningkat hingga 132% (ytd), dan menjadi yang tertinggi dibandingkan segmen kredit perseroan lainnya.
Selanjutnya: Pefindo Biro Kredit: Gara-gara corona, profil risiko dan NPL lembaga keuangan naik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News