Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan Indonesia meminta adanya pelonggaran regulasi terkait penjualan produk wealth management offshore atau produk keuangan asing sebagai salah satu langkah untuk mendorong likuiditas.
Wakil Ketua Umum Perbanas, Tigor Siahaan, mengatakan, isu likuiditas masih akan menjadi tantangan perbankan hingga tahun depan sehingga pendalaman pasar perlu lebih diintensifkan.
Salah satu cara menurutnya yang bisa dilakukan untuk pendalaman pasar bisa dilakukan mendorong penjualan produk wealh management offshore. Pasalnya, minat
nasabah kaya atau High Net Worth Individuals (HNWI) di Indonesia saat ini mencari instrumen investasi di luar negeri sebagai diversifikasi portfolio sangat tinggi sebagai alternatif investasi yang memberikan imbal hasil yang lebih baik.
"Saat ini nasabah kaya ingin beli Dow Jones, Alibaba, tapi dia tidak bisa karena ditutup kemungkinannya. Sehingga yang mereka lakukan adalah melakukan transfer uang ke rekening di Singapura, London, Hong Kong, dan negara lain," ungkap Tigor yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur CIMB Niaga di Jakarta, Senin (25/11).
Akibatnya, dana-dana nasabah kaya yang seharusnya bisa menambah likuiditas di dalam negeri lari ke luar negeri. Oleh karena itu, lanjut Tigor, alangkah baiknya regulasi penjualan wealth management offshore diperlonggar.
Sejak dulu minat masyarakat Indonesia akan produk-produk keuangan asing cukup tinggi. Namun, krisis ekonomi global 2008 yang dipicu bangkrutnya perusahaan investasi asal AS Lehman Brothers membuat regulator mulai membatasi pemasaran produk wealth management offshore pada tahun 2010.
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan yang tertuang PBI Nomor 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri.
Menurut PBI, bank yang menjadi agen harus mengantongi izin dari BI dan otoritas pasar modal. Bank tersebut harus terdaftar dan memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit.
Dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka aturan tersebut kini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2016.
Sementara Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunardi menjelaskan, permintaan pelonggaran aturan produk offshore dilatarbelakangi tingginya minat nasabah HNWI mencari instrumen investasi di luar negeri.
Menurutnya, perputaran dana Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri cukup besar. Berdasarkan data study McKinsey 2014, diketahui ada kurang lebih US$ 250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun portfolio investasi milik orang kaya Indonesia di luar negeri.
Senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 2.600 triliun diantaranya disimpan di Singapura dalam bentuk likuid atau setara kas dan dalam bentuk asset tetap.
Portfolio investasi tersebut disinyalir meningkat tiap tahunnya. "Berdasarkan informasi Cushman & Wakefield Inc, pembelian properti oleh WNI meningkat empat kali lipat di 2017. Itu menunjukkan minat WNI yang cukup besar terhadap instrumen investasi di luar negeri sebagai diversifikasi portofolio," tambah Hery.
Bank Mandiri saat ini telah melayani penjualan produk berbasis offshore, baik melalui Reksadana maupun melalui kolaborasi referral PDNI dengan Mandiri Investasi. Produk reksadana yang dijual diantaranya Mandiri Global Syariah Equity Fund, Schroders Schroder Global Sharia Equity Fund, dan Manulife Saham Syariah Asia Pasifik Dollar.
Sedangkan melalui layanan referral Pengelolaan Dana Nasabah Indibidual (PDNI), Mandiri Investasi bekerjasama dengan Lombard Odier untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah akan produk- produk offshore.
Hery melihat potensi bisnis wealth offshore masih cukup besar untuk dapat digarap. "Salah satu pendorongnya adalah dari nasabah repatriasi Tax Amnesty yang akan habis masa lock periode nya dalam waktu dekat," Tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News