Reporter: Umi Kulsum | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan bisnis financial technology (fintech) berbasis peer to peer (P2P) lending semakin semarak dengan hadirnya pemain-pemain baru. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mencatat, jumlah penyaluran pendanaan bisnis ini sudah mencapai Rp 2,25 triliun per November 2017.
Lalu, dengan dana yang sudah besar tersebut, perlukah adanya lembaga penjamin simpanan (LPS) dalam bisnis fintech lending seperti halnya sektor perbankan dalam mitigasi risiko?
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menjelaskan, fintech lending belum termasuk kategori bisnis simpanan lantaran skema transaksinya masih di antara anggota itu sendiri.
Dia bilang, fintech yang boleh menerima dana simpanan seperti bank pada umumnya belum diperkenankan oleh otoritas. Namun, lain hal jika perbankan berkolaborasi dengan fintech dan kemudian mempermudah calon nasabah menyimpan uangnya di bank.
Dengan begitu, sepanjang simpanan calon nasabah tersebut masuk ke dalam rekening yang ada di bank, otomatis simpanan tersebut akan dijamin oleh LPS.
“Sepanjang bisnis model perusahaan tersebut tidak menerima simpanan maka dia tidak terkena ketentuan seperti bidang perbankan,” terang Halim kepada Kontan.co.id, Jumat (29/12).
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menilai, saat ini OJK mengukur kinerja fintech lending dengan menggunakan model 5K.
Pertama, kedalaman: yaitu seberapa besar jumlah dana yang dapat disalurkan untuk keperluan pinjaman dalam rangka pendanaan gotong royong online (financial deepening), termasuk sebaran wilayah pendanaan. Kedua, keikutsertaan: yaitu berapa banyak jumlah masyarakat yang bisa dilayani (financial inclusion), termasuk sebaran wilayah dari masyarakat yang menggunakan layanan penyelenggara fintech lending.
Ketiga, kecepatan: yaitu seberapa cepat keputusan pendanaan dapat ditetapkan oleh penyelenggara fintech lending. Semakin cepat keputusan pendanaan dibuat maka semakin baik Velocity of Money, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan PDB nasional.
Keempat, kenyamanan: yakni seberapa aktif dan luasnya kerja sama penyelenggara fintech lending dengan penyelenggara jenis fintech lainnya, termasuk dengan industri keuangan incumbent.
Jamkrindo dan industri jasa asuransi serta penjaminan lainnya merupakan entitas independen yang dapat bekerjasama dengan penyelenggara fintech lending. OJK terus mendorong model kerjasama ini agar ekosistem fintech dan ekonomi digital indonesia dapat segera terbentuk di tanah air.
“Model kerja sama ini akan memberi perlindungan dan jaminan bagi dana dari pihak pemberi pinjaman atau lender. Kerugian perdata yang dapat timbul karena kegagalan bisnis atau meninggalnya penerima pinjaman atau borrower dapat diminimalisasi melalui mekanisme kerja sama ini,” terang Hendrikus kepada Kontan.co.id, Jumat (29/12).
Kelima: keamanan. Pada variabel ini, Hendrikus menyebut, OJK akan mengukur antara lain tingkat non performing loan (NPL) secara real time host- to-host.
Perkembangan ratio tingkat keluhan pengguna, baik yang sudah, sedang dan atau yang belum diselesaikan oleh penyelenggara juga akan dimonitor secara terus-menerus, sebagai variabel yang mampu memberi gambaran mengenai kualitas layanan dan masa depan penyelenggara fintech lending.
“Dengan demikian, model pengukuran 5K tersebut telah mencakup antara lain isue perlindungan dan jaminan dana konsumen, melalui skema kerja sama dalam ekosistem fintech lending,” tegas Hendrikus.
Senada, Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya menyampaikan, keberadaan LPS belum diperlukan lantaran ini merupakan alternatif investasi bukan simpanan seperti deposito.
“Jika perbankan misalnya ada deposito dari nasabah untuk diputar, sehingga kalau collapse, uang nasabah akan berimbas sehingga peran LPS sangat penting. Tapi kalau untuk fintech lending saya rasa tidak relevan,” terang Reynold kepada Kontan.co.id, Jumat (29/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News