kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Polisi tangkap warga negara China yang jadi buronan fintech ilegal


Jumat, 27 Desember 2019 / 15:05 WIB
Polisi tangkap warga negara China yang jadi buronan fintech ilegal
ILUSTRASI. ilustrasi keamanan fintech. KONTAN/Muradi/1/06/2017


Reporter: Ahmad Ghifari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polres Metro Jakarta Utara dengan dibantu dengan Polresta Barelang telah berhasil menangkap tersangka DPO yaitu Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama PT Barracuda Fintech Indonesia di daerah Batam tepatnya di Batam Centre, pelabuhan yang digunakan untuk menyebrang ke Singapura.

Tersangka yang ditangkap berinisial TD warga negara China berjenis kelamin laki-laki yang berperan sebagai Wakil Direktur Utama PT Barracuda Fintech Indonesia, kemudian tersangka OL warga negara China berjenis kelamin perempuan sebagai Direktur Utama PT Barracuda Fintech Indonesia.

Baca Juga: Polisi: Vega Data dan Barracuda Fintech sudah pinjamkan Rp 82 M ke ribuan nasabah

Dalam hal ini, Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Budhi Herdi Susianto mengatakan Polres Metro Jakarta Utara telah mendapatkan data nasabah PT Barracuda maupun PT Vega Data, sebanyak 500 ribu nasabah yang terafiliasi dengan beberapa aplikasi yang beberapa sudah dilakukan penutupan.

Adapun aplikasi saat dilakukan penggerebekan yang masih aktif, telah dilakukan penyedotan data dari Kascash dan Tokotunai. Dimana dari Tokotunai jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 70 miliar. Adapun return atau pengembalian yang diterima sudah mencapai Rp 78 miliar.

Sedangkan untuk uang administrasi yang telah mereka potong kepada para nasabah di awal saat melakukan pinjaman itu kurang lebih mencapai Rp 25 miliar untuk satu aplikasi.

"Jadi untuk aplikasi Tokotunai ada Rp 20 miliar, Rp 25 miliar, dan Rp 8 miliar, Rp 33 miliar. Sedangkan untuk aplikasi Kascash mereka telah mendapatkan pengembalian Rp 13 miliar, artinya telah ada keuntungan juga Rp 1 miliar ditambah administrasi yang mereka potong mencapai Rp 5 miliar," kata Budhi dalam press conference di Polres Metro Jakarta Utara, Jumat (27/12).

Baca Juga: Tolaram Group tetap jadi PSP Amar Bank

Lanjut Budhi, nasabah yang menjadi korban dari fintech ilegal ini merupakan masyarakat kelas bawah yang membutuhkan pendanaan. Dimana pinjaman ini hanya dibatasi minimal Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta. Namun karena jumlahnya cukup besar, maka ini menjadi perhatian serius baik dari kepolisian, Otoritas jasa Keuangan (OJK), dan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI).

"Kami juga telah berkoordinasi, nantinya kita akan mengejar sumber pendanaan fintech ilegal ini yang dananya disalurkan kepada nasabah. Tak hanya itu, kemana muara ataupun aliran dana dari anggaran dana itu yang sudah mereka kumpulkan dan tentunya ini kalo memang ada tindakan pencucian uang nanti akan kita kejar juga dengan pasal tindak pencucian uang," jelas Budhi.

Termasuk pihak Polres Metro Jakarta Utara menerapkan pasal Undang-Undang pasal 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Dimana akan menjerat korporasi yang menerapkan tindak pidana ini.

Saat melakukan penggerebekan, menurut Budhi di dalam perjanjian term of conditions antara PT Vega Data Indonesia dan PT Barracuda Fintech Indonesia dengan nasabah, keduanya mencantumkan bahwa diawasi oleh OJK. Masyarakat hendaknya teliti juga, untuk terlebih dahulu cek di website OJK perusahaan fintech mana saja yang legal agar tidak tertipu oleh fintech ilegal.

"Fintech ilegal ini, dari perusahaan ada semacam SP1 dan SP2 kepada desk collection-nya. Jadi, apabila tidak memenuhi target, maka mereka akan diberikan peringatan dan sampai dua kali, karyawan akan dikeluarkan. Sehingga mereka dituntut dan melakukan segala cara dan upaya yang pada akhirnya justru melanggar peraturan hukum," kata Budhi.

Baca Juga: Asosiasi angkat bicara soal penggerebekan kantor fintech lending ilegal

"Dalam term of conditions-nya, data yang ada pada nasabah itu boleh diangkat dan diambil sehingga ini yang menjadi kunci bagi mereka sehingga dapat menyebar luaskan kepada pihak lain,"tambahnya.

Budhi mengatakan melakukan penindakan karena adanya laporan dari masyarakat, ini diibaratkan sebagai bom waktu yang akan meledak pada waktu tertentu. Saat diawal melakukan transaksi pinjaman mungkin tidak ada masalah, namun seiring berjalannya waktu ketika nasabah kesulitan untuk mengembalikan uang, setelah itu adanya tindakan teror yang dilakukan kepada nasabah.

Barracuda baru saja beroperasi satu tahun, dalam periode ini baru terjadinya persoalan dalam proses penagihan yang masyarakat laporkan. Hal ini tentu melanggar aturan undang-undang perlindungan konsumen.

Aplikasi yang digunakan Barracuda ini untuk beroperasi, ada sebanyak 13 hingga 15 aplikasi. Namun, saat ini sudah ada 11 aplikasi yang telah ditutup. Aplikasi yang ditutup tersebut seperti Gagah Hijau, Aliansudoku, Dompet Kartu, Kurupiah, Do it Session, Lion Take, Tetapsiap, Pinjam Beres, Dompet Bahagia, Faith Comfort, Kascash dan Tokotunai.

Baca Juga: Tingkatkan bisnis, P2P lending agresif lakukan kerjasama pada tahun depan

"Kerugian sebenarnya bisa dilihat pada saat mendaftar, misalnya nasabah meminjam Rp 1,5 juta langsung di potong Rp 400 ribu untuk administrasi. Berarti nasabah hanya mendapat Rp 1,1 juta dan Rp 400 ribu kalikan berapa ratus ribu itu. Kemudian apabila masyarakat terlambat membayar, nanti dikenakan denda keterlambatan 50 ribu per hari. Ini sangat membahayakan," jelas Budhi.

Bagaimana WNA sampai bisa menyelenggarakan fintech di Indonesia, menurut Budhi ada sebagian yang memakai visa kunjungan dan 2 tersangka lainnya visanya bekerja di Indonesia. Maka dari itu ini terkait pelanggaran keimigrasian, akan terus lakukan koordinasi dengan pihak imigrasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×