kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.820   -41,00   -0,24%
  • IDX 6.442   73,17   1,15%
  • KOMPAS100 923   0,44   0,05%
  • LQ45 723   -0,82   -0,11%
  • ISSI 202   3,78   1,91%
  • IDX30 377   -0,84   -0,22%
  • IDXHIDIV20 459   0,93   0,20%
  • IDX80 105   -0,21   -0,20%
  • IDXV30 112   0,60   0,54%
  • IDXQ30 124   -0,13   -0,11%

Saham Bank Digital Melorot di Tengah Kenaikan Laba Bersih, Ini Penyebabnya


Selasa, 15 April 2025 / 16:49 WIB
Saham Bank Digital Melorot di Tengah Kenaikan Laba Bersih, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. saham Neo Bank (BBYB) terluhat melemah sejak awal tahun 2025


Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank digital telah cetak laba bersih tahun berjalan yang memuaskan di awal tahun ini. Meski demikian, pencapaian ini tidak sejalan dengan pergerakan sahamnya yang terus merosot secara year to date (ytd).

Ambil contoh PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB). Per Februari 2025, laba bersih Neo Bank meroket 903,1% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 110,90 miliar. Di mana, laba bersih Neo Bank capai Rp 11,05 miliar di bulan Februari 2024.

Di periode yang sama pula, PT Bank Jago Tbk (ARTO) ikut mencatat kenaikan laba sebesar Rp 39,87, naik 214,6% yoy dari sebelumnya Rp 12.67 miliar. 

Ini disusul oleh PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang labanya naik 9,24% senilai Rp 82,40 miliar. Setali tiga uang, saham PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI) naik 3,41% sebesar Rp 17,45 miliar. Sementara, PT Bank Amar Tbk (AMAR) catat laba menjadi Rp 44,79 miliar, turun 0,33%.

Sayangnya, saham-saham bank ini tampak terus tergerus sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Selasa, (15/4). Saham ARTO terlihat turun 890 poin atau 36,63% menjadi Rp 1.540 per saham. Padahal, saham ARTO sempat berada di level Rp 2.430 per saham di awal tahun.

Baca Juga: Bisnis Kartu Kredit Perbankan Tumbuh Subur

Saham BBYB juga turun 12,39% secara ytd menjadi Rp 191 pada Selasa (15/4). 

Saham AMAR pun terlihat turun 13,61% menjadi Rp 165 per saham. Sedangkan saham BBHI juga turun 5,71% menjadi Rp 660 per saham. Pergerakan saham BBSI juga turun 4,29%, dari sebelumnya Rp 4.200 di awal 2025 menjadi hanya Rp 4.020. 

Mengenai koreksi harga saham, Direktur Kepatuhan Bank Jago Tjit Siat Fun menjelaskan, secara umum pergerakan saham dipengaruhi berbagai faktor internal maupun eksternal.

Faktor eksternal ini menurut Tjit dapat memengaruhi mekanisme permintaan dan penawaran di pasar modal, termasuk saham ARTO. 

“Sama halnya dengan Bank Jago, perubahan harga saham banyak dipengaruhi berbagai faktor, termasuk sentimen pasar secara global,” ujar dia kepada Kontan, Selasa (15/4).

Secara fundamental, lanjut Tjit, sebetulnya kinerja Bank Jago terbilang bagus. Ini dapat dilihat dari penyaluran kredit, dana pihak ketiga (DPK), dan jumlah nasabahnya yang terus bertumbuh.

Untuk mempertahankan kinerja positif dan menjaring kepercayaan investor, Bank Jago bakal terus fokus pada perkembangan aspek fundamental perusahaan. Ini dilakukan di antaranya dengan menelurkan berbagai inovasi dan fitur baru, serta memperkuat kolaborasi dalam ekosistem digital dan mitra strategis ARTO seperti GoTo, Bibit/Stockbit, dan BFI Finance.

Baca Juga: Kredit Investasi Perbankan Tumbuh Tinggi, Pelaku Bisnis Dinilai Masih Ekspansif

“Intinya, kami fokus pada rencana bisnis kami, terutama aspek fundamental dan kinerja perusahaan yang menciptakan pertumbuhan yang berkualitas dan memacu profitabilitas,” tutupnya.

Pengaruh sentimen global terhadap kinerja saham juga turut diamini Amar Bank. David Wirawan, SVP Finance Amar Bank bilang, sentimen ini berimbas pada ekspektasi pasar terhadap pertumbuhan saham bank digital yang ikut terkoreksi.

Padahal menurut David, secara fundamental, kinerja Amar Bank cukup baik. “Hal ini yang menyebabkan disconnect sementara antara fundamental perusahaan dan pergerakan harga saham di pasar,” ujarnya.

Ke depan, Bank Amar akan berkomitmen untuk terus memperkuat fundamental perusahaan dengan meningkatkan transparansi dan komunikatif pada para investor. “Kami juga terus mendorong inisiatif digitalisasi dan inovasi layanan sebagai langkah konkret untuk meningkatkan nilai perusahaan di mata investor dan pemangku kepentingan lainnya,” kata David.

Di sisi lain, Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo menilai, penurunan saham BBHI tidak mencerminkan kondisi fundamental perusahaan. “Karena saham yang diperdagangkan hanya mewakili sebagian kecil dari saham yang beredar,” terang Indra.

Senada dengan ARTO dan AMAR, merosotnya saham BBHI kata Indra juga akibat faktor internal dan eksternal. Tentu kata dia, faktor eksternal ini akibat sentimen global. 

“Terkait faktor yang dapat dikontrol (internal), kami sebagai manajemen Allo Bank berkomitmen untuk membangun fundamental dan meningkatkan value perusahaan, seperti tercermin pada perbaikan kinerja keuangan bank,” ujar Indra.

Memang, jika mengintip laporan keuangannya, secara fundamental perusahaan Allo Bank cukup baik. Per Februari 2025, DPK-nya tumbuh 19,69% yoy menjadi Rp 5,74 triliun dan asetnya naik 9,12% yoy menjadi Rp 13,48 triliun. Namun, penyaluran kredit Allo Bank menurun 1,15% yoy di Februari tahun ini, hanya sebesar Rp 6,96 triliun.

Vice President Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menilai, tren bearish saham bank-bank digital terjadi imbas tekanan pasar baik secara domestik maupun global. Sejumlah penyebabnya ialah kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS), depresiasi Rupiah, hingga kebijakan pemerintah Indonesia.

 

Ini yang menurut Audi mengalihkan minat para investor ke saham-saham bank konvensional, termasuk KBMI IV. Ditambah, ekosistem bank konvensional dinilai Audi lebih solid dan dividen yang dibagi lebih menarik.

“Sehingga alokasi cenderung teralihkan dari bank digital, karna bank konvensional juga mulai membangun melalui anak usaha untuk digital banking-nya. Kami melihat ini yang menjadi pemberat persaingan dalam bank digital,” kata dia kepada Kontan, Selasa (15/4). 

Dari sisi valuasi pun, Audi menilai saham-saham bank digital masih cukup mahal. “Seperti PBV: BANK 3,88x; BBHI 1,99x; dan AGRO 1,38x jika dibandingkan dengan big bank seperti BBRI 1,77x; BMRI 1,57x; BBNI 0,99x; dan BBCA 4x menunjukkan nilai yang tidak lebih menarik sehingga investor teralihkan ke dalam bank konvensional,” sebutnya.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama juga sepakat dengan itu. Tapi kata dia, ini ditambah dengan tekanan pasar akibat kebijakan tarif AS dan dinamika kebijakan moneter The Federal Reserve.

Sentimen global ini juga menurut Nafan bakal membuat likuiditas bank digital mengetat. Sebelumnya saja, lanjut Nafan, secara likuiditas dan penyaluran kredit bank-bank digital belum sebesar bank konvensional. Oleh karenanya, bank digital kata dia harus lebih dulu memperkuat likuiditasnya.

“Yang terpenting sustain dulu, atau kalau misalnya tingkat likuiditasnya kurang memadai, opsi merger juga perlu dipertimbangkan,” ujar Nafan.

Baca Juga: Simpanan Valas Sejumlah Perbankan Meningkat, Begini Strategi Bank Mandiri dan BNI

Selain itu, Audi juga mengkhawatirkan hadirnya diferensiasi produk dan tren kredit macet atau non performing loan (NPL) bank digital yang masih tinggi. 

“Kami berpandangan pasar sedang dalam mode realistis, bukan lagi optimistis spekulatif sehingga investor menuntut profitabilitas dan efisiensi, bukan sekadar pertumbuhan user di tengah kondisi ketidakpastian yang tinggi,” terangnya.

Meski demikian, Audi melihat peluang yang masih terbuka dari bank digital, khususnya yang memiliki integrasi ekosistem grup. 

Secara teknikal, ia merekomendasikan AGRO speculative buy dengan resistance di angka 214 dan support di angka 185, sedangkan ARTO speculative buy dengan angka resistance 1.750 dan support 1.475.

Selanjutnya: Pefindo Naikkan Peringkat PNM Jadi idAAA Berkat Pertumbuhan Mekaar

Menarik Dibaca: Rebound Bitcoin Tersendat, Masih Kuat Menanjak atau Rawan Jatuh?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×