kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Satu pondasi untuk koperasi asuransi


Jumat, 10 Maret 2017 / 15:17 WIB
Satu pondasi untuk koperasi asuransi


Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Perusahaan asuransi yang selama ini kita kenal biasanya berbentuk perseroan terbatas. AJB Bumiputera merupakan pengecualian. Penerbit dan pengelola produk asuransi ini berbentuk usaha bersama. Ke depan, badan usaha berbentuk koperasi juga bisa menerbitkan produk asuransi.

Sejatinya, undang-undang yang mengatur soal tersebut telah ada sejak 2014, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Dus, selain badan usaha berbentuk PT, perusahaan asuransi bisa berbadan hukum koperasi dan usaha bersama atau mutual. Namun, secara teknis, belum ada peraturan sebagai landasan pendirian usaha bersama dan koperasi asuransi. Nah, agar tidak lagi jadi area  abu-abu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah merampungkan draf peraturannya.

Pada 14 Februari lalu, OJK meluncurkan Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang Persyaratan Keuangan menjadi Anggota, Pemanfaan Keuntungan oleh Anggota dan Pembebanan Kerugian di antara Anggota pada Perusahaan Asuransi dan Asuransi Syariah Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama. 

“Adanya pengaturan yang baik tentu akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat pada industri asuransi,” ujar Edi Setiadi, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) I OJK, kepada Tabloid KONTAN.

Menurut Edi, ketentuan tersebut sesuai dengan asas kekeluargaan yang dianut koperasi. Ia pun berharap, ke depan, para anggota koperasi yang punya usaha mikro lebih sadar akan pentingnya asuransi.

Wajib tahan laba 20%

Dalam RPOJK tersebut memang diatur sejumlah hal teknis mengenai pembagian keuntungan serta kerugian. Misalnya, Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan, sisa hasil usaha (SHU) diperoleh dari pendapatan satu tahun buku perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah berbentuk koperasi dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya, termasuk pajak. Intinya, koperasi harus lebih dulu membayar semua kewajibannya saat hendak membagi keuntungan. 

Setelah itu, perusahaan asuransi berbentuk koperasi ini harus menyisihkan terlebih dahulu SHU minimal sebesar 20%  sebagai dana cadangan. Barulah, setelah kewajiban lunas dan menyisihkan dana pencadangan, koperasi asuransi bisa membagikan SHU sesuai kesepakatan rapat anggotanya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 7 RPOJK tersebut.

Serupa, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama juga harus mengalokasikan minimal 20% dari keuntungannya untuk dana cadangan umum. Selain itu, pembagian keuntungan baru bisa dilakukan setelah dikurangi bagian laba untuk anggota yang mempunyai hak partisipasi. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 15 RPOJK ini.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu menilai, kewajiban menahan sebagian dari SHU atau keuntungan untuk pencadangan merupakan hal yang tepat. Pasalnya, bisnis asuransi bukanlah bisnis yang mudah. “Bisnis asuransi merupakan bisnis yang ‘berdarah-darah’ di awal,” tutur Togar.

Ia menjelaskan, ketika baru mendirikan perusahaan asuransi jiwa, pendapatan premi yang masuk biasanya hampir 100% digunakan untuk menutup berbagai biaya, seperti komisi, gaji karyawan, biaya pemasaran, dan banyak lagi. 

“Jadi, produk asuransi jiwa yang Anda beli itu baru balik modal mungkin di tahun ketujuh atau kedelapan. Jadi, memang ini bisnis yang membutuhkan kesabaran, kepintaran, keseriusan dan modal besar,” ujar Togar.

Dengan kewajiban membentuk pencadangan dari SHU atau keuntungan perusahaan, maka ada kepastian perusahaan akan sustain atau bertahan. Praktik serupa sudah dijalankan di industri perbankan.

Kalaupun terjadi kerugian, pencadangan yang terbentuk tadi bisa berguna. Dalam Pasal 11, RPOJK tadi menyebutkan bahwa koperasi bisa menutup kerugian dengan menggunakan dana cadangan, simpanan pokok anggota, simpanan wajib dan/atau mekanisme lainnya yang tercantum dalam anggaran dasar. “Semua nantinya akan jelas mekanisme, baik untuk pembagian keuntungan atau mekanisme untuk menghadapi kerugian,” kata Togar. 

Koperasi & komunitas

Kelak, apabila telah disahkan menjadi POJK, aturan ini akan merupakan salah satu pondasi bagi pendirian perusahaan asuransi berbentuk koperasi dan usaha bersama. Aturan ini juga akan memudahkan pengusutan ketika terjadi masalah dalam koperasi atau badan usaha bersama tersebut. 

Ke depan, menurut Togar, bukan tak mungkin bakal muncul perusahaan-perusahaan asuransi berbentuk koperasi di daerah yang dibatasi lingkup operasinya, seperti halnya bank perkreditan rakyat (BPR) dalam industri perbankan. 

Selain itu, komunitas-komunitas juga bisa membentuk asuransi yang lebih tepat manfaat bagi mereka. “Saat ini memang belum ada, tapi mungkin saja aturan mengenai asuransi berbentuk koperasi dan mutual bisa mengakomodasi komunitas-komunitas tertentu di daerah, seperti petani atau nelayan, untuk mendirikan asuransi,” imbuh Togar.

Boleh dibilang, saat ini pasar asuransi di tanah air masih sangat besar. Pasalnya, penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah, yakni baru sekitar 7% dari total penduduk. Dus, masih terbuka lebar peluang bagi pemain-pemain baru untuk masuk, termasuk koperasi dan badan usaha bersama.

Namun, kalaupun ada yang sudah ngebet membentuk koperasi atau usaha bersama asuransi, mereka harus bersabar sedikit lagi. Pasalnya, agar bisa disahkan menjadi POJK, aturan ini mesti menunggu keluarnya aturan yang lain, yakni peraturan pemerintah (PP) yang secara spesifik mengatur tentang perasuransian berbentuk koperasi dan usaha bersama ini. 

“RPP, kan, mengatur badan hukum,  tata kelola dan demutualisasi. Sementara RPOJK mengatur keanggotaan, pembagian keuntungan dan pembebanan kerugian,” jelas Edi.

Toh, menurut Togar, selesainya penyusunan RPOJK ini setidaknya bisa menjadi acuan atau guideline bagi pembentukan koperasi atau usaha bersama asuransi ke depan. 

Ia sendiri berharap, semua ketentuan terkait pendirian dan operasional perusahaan asuransi berbentuk koperasi dan usaha bersama, baik POJK maupun PP, bisa rampung di tahun ini. Sebab, adanya regulasi ini bagus bagi industri. 

Cuma, ia menambahkan, nanti pengawasannya harus superketat. “Sebab, bisnis asuransi merupakan bisnis “janji”, jadi tak boleh main-main,” cetus Togar.            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×