kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simak pandangan Analis Samuel Sekuritas untuk bank konvensional


Minggu, 01 Agustus 2021 / 22:17 WIB
Simak pandangan Analis Samuel Sekuritas untuk bank konvensional
ILUSTRASI. Seorang petugas kebersihan melintasi layar digital pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor di pasar saham Indonesia memiliki minat yang besar terhadap sektor perbankan. Berdasarkan data Samuel Sekuritas, dari 20 besar emiten dengan kapitalisasi pasar (market cap) terbesar enam diantaranya merupakan sektor perbankan. Bahkan empat dari lima big market cap pun diduduki oleh perbankan yakni BBCA, BBRI, BMRI, dan ARTO. 

Bahkan saat ini, emiten bank kecil yang menyatakan bakal melakukan transformasi menjadi bank digital harganya sahamnya melonjak dan ramai diperdagangkan. Head of Research PT Samuel Sekuritas, Suria Dharma menjelaskan fenomena ini tak terlepas dari peran investor ritel. 

Ia bilang jauh sebelum pandemi, rata-rata transaksi di Bursa Efek Indonesia lebih didominasi oleh institusi global. Namun pandemi telah mengubah komposisi menjadi investor ritel. Sepanjang Januari hingga Juni 2020, rata-rata transaksi harian di bursa senilai Rp 7,7 triliun dengan komposisi 37,3% dari investor ritel, 39,4% institusi lokal, dan 23,3% institusi global. 

“Pada Januari - Juni 2021, itu rata-rata transaksi harian mencapai Rp 13,48 triliun yang didominasi investor ritel hingga  59,3%, 16,2% dari institusi global, dan 24,5% institusi lokal. Padahal kepemilikan investor ritel jauh lebih rendah dibandingkan kepemilikan institusi,” ujar Suria pada pekan lalu. 

Baca Juga: BCA dan Bank Mandiri tambah modal bagi anak usaha yang bergerak di sektor digital

Lanjutnya, hal ini ikut mempengaruhi pola-pola pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia. Ia menilai investor institusi lebih suka mengoleksi saham dari emiten bank dengan aset besar. Sedangkan investor ritel lebih suka bank kecil dan digital karena ada cerita di fintech ataupun e-commerce di belakangnya yang menarik bagi millennial. 

 

“Kenapa bank digital menarik belakang ini? Karena setelah Covid-19, transaksi online itu meningkat, ini tidak diperkirakan. Juga ada aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menambah modal bagi bank digital untuk bank baru Rp 10 triliun, bank konvensional yang dikonversi jadi bank digital Rp 3 triliun, sedangkan digital dari anak usaha bank besar senilai Rp 1 triliun,” tambah Suria. 

Namun, OJK juga telah mendorong agar perbankan di tanah air memiliki modal inti minimum sebesar Rp2 triliun tahun ini dan Rp 3 triliun pada tahun depan. Faktanya, tidak semua bank kecil punya dana untuk tingkatkan modalnya. Karena kondisi ini, e-commerce dengan perkembangan transaksi mereka tertarik untuk punya bank digital. 

“Kalau saya lihat, bank digital memiliki tantangannya juga. Misalnya, berapa jauh orang mau menempatkan dana pihak ketiganya di bank digital. Sedangkan dana murah itu lebih banyak di tempatkan di bank bank besar BUKU 4. Jadi memang itu sesuatu yang tidak bisa berubah. Jadi itu menjadi tantangan bank digital,” jelas Suria. 

Namun ia menilai bank digital juga memiliki kelebihan yang cukup besar dengan analisis big data yang besar. Bank digital pun mengklaim bisa mengontrol rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Lantaran risk management nya sudah tersaring. 

“Saya lihat market nya beda, karena yang konvensional itu segmen korporasi atau komersial juga kurang cocok di bank digital. Cocoknya di kecil dan ultra mikro. Jadi perbedaannya di sana,” tambahnya. 

“Bank digital ini ke depannya, tidak akan semuanya tidak akan bertahan. Dari segi aset lebih kecil dibandingkan big cap. Jadi beberapa saja yang bisa masuk dan bersaing di market cap besar. Selain bank Jago, saya lihat potensinya AGRO. Jumlahnya tidak begitu banyak,” jelasnya.

Tapi bank konvensional ini akan tetap jadi dominan, persaingannya sebetulnya di bank digital saja. Tapi ada lagi fintech seperti Bukalapak dan Goto, jadi persaingannya lebih tinggi. Jangka pendek akan ada penyesuaian. 

 

“Bank digital kan banyak diminati oleh investor ritel sedangkan investor institusi tetap melihat pada angka fundamental dan profitable ke depan dan dividen. Pada satu titik akan kembali ke situ. Tapi jangka pendek, karena kenaikan investor ritel yang sangat tinggi sehingga saham bank digital itu mengalami kenaikan dan return-nya saya lihat juga sangat tinggi,” paparnya.

Ia menekankan boleh saya bagi investor manapun menempatkan dananya di saham bank digital ataupun bank digital. Tapi yang penting ada value dan growth investor. Paling penting ini masuk akal atau tidak. 

“Memang yakin dan didukung data yang kuat ya tidak masalah. Kalau kita suka fundamental yang bagus, bank konvensional lebih lengkap datanya saat ini. Sehingga proyeksinya masih bisa diperkirakan dibandingkan bank digital. Jadi harus berhati-hati. Jangan sampai beli kucing dalam karung,” tambahnya. 

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan di pasar modal memang terdapat dua jenis investor yakni value investing maupun trader jangka pendek. Ia menilai pembelian saham oleh trader pun banyak ragamnya mulai dengan fundamental, stories, dengar kiri kanan, maupun ikut-ikut.

“Namun itu bisa berubah saat financial statement dipublikasi. Tapi intinya performance lah yang menentukan apakah saham itu kayak dibeli atau tidak. Waktu yang akan membuktikan. Menurut saya, apakah dividen dan profitnya,” tambah Jahja.

Selanjutnya: Biaya dana perbankan melandai di semester I-2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×