kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Soal pengawasan di omnibus law sektor keuangan, bankir: Lebih ketat dari sebelumnya


Sabtu, 28 November 2020 / 19:30 WIB
Soal pengawasan di omnibus law sektor keuangan, bankir: Lebih ketat dari sebelumnya


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan undang-undang tentang Penangan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan alias Omnibus Law sektor keuangan turut mengatur status pengawasan bank. Sebelumnya ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan OJK.

Calon beleid tersebut menetapkan tiga status pengawasan bank yakni normal, dalam penyehatan, dan dalam resolusi. Merujuk POJK 15/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, sebelumnya status pengawasan ditetapkan normal, intensif, dan khusus. 

Tak cuma mengubah nomenklatur, dua kelompok status tersebut juga punya substansi yang berbeda. Dalam Omnibus Law, bank berstatus pengawasan normal bahkan telah diminta menerapkan aksi pemulihan jika memiliki masalah keuangan. Pada POJK 15/2017 ketentuan tersebut baru berlaku pada status pengawasan intensif, dan khusus. 

Baca Juga: BRI langggar aturan OJK karena berhentikan direksi tanpa lewat RUPS?

Bahkan, Omnibus Law memberikan kewenangan untuk mengintervensi langsung terhadap bank berstatus pengawasan normal jika ditaksir kesulitan keuangan dapat membahayakan kelangsungan usaha bank kelak.

Intervensi berupa perintah tertulis OJK untuk membatasi kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan pemegang saham. Meminta pemegang saham tambah modal, menghapusbukukan kredit, meminta bank melakukan penggabungan usaha atau peleburan. Meminta bank dijual, menyerahkan pengelolaan kepada pihak atau bank lain, sampai menjual aset-aset bank.

“Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila kondisi usaha semakin memburuk yang ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan pengelolaan yang tidak dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat,” papar calon beleid ini. 

Baca Juga: Bank DKI meluncurkan Program Kebun Hidroponik

Beberapa bankir memberi tanggapan soal calon beleid ini. Direktur Utama PT Bank Maspion Tbk (BMAS) Herman Halim menilai kewenangan tersebut agak berlebihan apalagi dalam situasi pandemi kini. 

Power-nya terlalu kuat, meskipun ini bisa jadi exit plan agar saat bank mengalami masalah dampaknya tak meluas. Namun yang perlu dikaji selanjutnya adalah soal harmonisasi beban terhadap bank. Masa pandemi kini, bank perlu efisiensi agar bisa bertahan,” ungkapnya kepada KONTAN, Jumat. 

Adapun Direktur PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) Efindal Alamsyah sejumlah ketentuan tersebut tak baru-baru. Meskipun diakui memang lebih ketat dibandingkan sebelumnya. 

Baca Juga: Sudah kucurkan Rp 4,5 triliun, Tahir siap suntik modal Bank Mayapada lagi

Lagipula, ia juga menilai belakangan aksi OJK misalnya mendorong konsolidasi sudah tepat mengingat terlalu banyak bank berukuran kecil yang berkontribusi mini terhadap perekonomian nasional. 

“Bukan hal yang baru, sekarang sudah ada POJK yang mengatur ketentuan tersebut. Bahkan ada larangan memberikan dividen kepada bank yang tak memenuhi ketentuan CAR. Ini memang diperlukan, untuk kebaikan bank itu sendiri demi melindungi dana masyarakat,” katanya.

Selanjutnya: Potensi gagal bayar debitur KUR yang direstrukturisasi sangat kecil

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×