Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu hal yang bisa dipandang positif atas penempatan uang negara di bank pelat merah adalah tersedianya likuiditas murah. Pasalnya, bunga yang wajib dibayarkan oleh bank terhadap penempatan tersebut terbilang murah.
Seperti diketahui, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No 276 Tahun 2025 memutuskan untuk mengguyur lima bank milik negara atau Himbara dengan dana Rp 200 triliun. Di mana, penempatan tersebut dalam bentuk deposito on call dengan tenor enam bulan dan dapat diperpanjang.
Dalam hal ini, bunga yang didapatkan sebesar 80,476% dari BI Rate untuk Rekening Penempatan dalam Rupiah. Sebagai gambaran, saat ini BI Rate berada di level 5%. Artinya, bunga atau imbal hasil yang didapatkan dari penempatan uang negara dari bank tersebut sekitar 4,02%.
Baca Juga: Dana Rp 200 Triliun Masuk Bank BUMN, Dorongan Kredit atau Risiko Baru?
Dengan besaran tersebut, artinya kewajiban bank yang perlu dibayarkan ke negara bisa lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata bunga simpanan di perbankan. Per Juli 2025, suku bunga simpanan berjangka untuk tenor 6 bulan mencapai 6,07%.
Ekonom Perbankan Binus University Dody Arifianto melihat tujuan dari kebijakan ini memang untuk menurunkan beban dana dari perbankan. Harapannya, itu bisa diikuti dengan penurunan bunga kredit yang pada akhirnya berpotensi mendorong kredit.
“Tidak bisa lagi ngomong likuiditas cekak, makanya enggak menyalurkan kredit,” ujar Dody.
Nah, kini yang menjadi pekerjaan rumah bagi bank pelat merah ini menurut Dody adalah meningkatkan penyaluran kredit. Pasalnya, saat ini permintaan kredit juga sedang lesu.
Menurutnya, jika bank tidak bisa menyalurkan kredit, tentunya akan menjadi beban bagi bank karena harus memberikan imbal hasil atas penempatan tersebut. Sebab, penempatan dana pemerintah ini tidak diperbolehkan di instrumen surat berharga.
“Kalau Himbara tidak bisa atau tidak mau ekspansi kredit, mereka akan simpan di bank lain (interbank deposit),” ujar Dody.
Memang, saat ini rasa-rasanya bank swasta lebih membutuhkan likuiditas. Ambil contoh, Bank Danamon dan CIMB Niaga yang masing-masing memiliki rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) di level 97,8% dan 87,3%.
Baca Juga: Perbankan Digital Masih Hadapi Tantangan Likuiditas
Sementara itu, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan bilang saat ini yang terpenting adalah bagaimana penempatan dana tersebut dapat sesuai tujuan yaitu menggerakkan sektor riil atau produktif. Di mana, itu nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, ada risiko di mana apa yang dicita-citakan dari kebijakan tersebut tidak dapat terpenuhi. Ditambah, likuiditas di BI juga sudah terlanjur berkurang.
“Ada atau tidak ada program ini semua penyaluran kredit juga ada risiko kredit macet,” tambahnya.
Pengamat Perbankan Amin Nurdin pun menambahkan bahwa pada akhirnya kini pemerintah dan bank juga perlu berpikir keras bagaimana penyaluran kredit bisa kembali kencang. Baik itu melalui program maupun promo yang diberikan.
Baca Juga: Likuiditas Perekonomian Dinilai Terjaga, Tetapi Penyaluran Kredit Masih Lambat
Meski demikian, ia meyakini bank-bank pelat merah ini tidak akan meninggalkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit. Meskipun, ada dorongan bahwa kredit bisa tumbuh kencang.
“Namun, tidak semua mulus, mesti sudah hati-hati, tetap ada risiko tapi saya bilang kecil,” tandasnya.
Selanjutnya: Cek Yuk, Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Sabtu 13 September 2025
Menarik Dibaca: Cek Yuk, Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Sabtu 13 September 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News