kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.205   64,04   0,90%
  • KOMPAS100 1.107   12,22   1,12%
  • LQ45 878   12,25   1,41%
  • ISSI 221   1,22   0,55%
  • IDX30 449   6,60   1,49%
  • IDXHIDIV20 540   5,96   1,12%
  • IDX80 127   1,50   1,19%
  • IDXV30 135   0,68   0,51%
  • IDXQ30 149   1,81   1,23%

Tambah likuiditas, bankir minta relaksasi LFR


Jumat, 31 Maret 2017 / 20:30 WIB
Tambah likuiditas, bankir minta relaksasi LFR


Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Sejumlah bank besar meminta regulator melakukan relaksasi aturan loan to funding ratio (LFR) atau rasio kredit terhadap pendanaan. Sebab, selama ini dana dari pinjaman luar negeri belum masuk sebagai perhitungan LFR.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan, dengan kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang cukup besar maka membutuhkan likuiditas yang cukup. “Oleh karena itu kami sedang berdiskusi dengan regulator terutama OJK agar memasukkan dana jangka panjang dari pinjaman luar negeri sebagai perhitungan LFR,” ujar Tiko sapaan akrabnya, Kamis (30/3).

Selama ini, menurut Tiko, yang menjadi dasar perhitungan LFR selain dana pihak ketiga (DPK) adalah surat berharga. Jika nanti dana pinjaman luar negeri bisa masuk, akan menambah likuiditas perbankan terutama dana jangka panjang.

Pendanaan jangka panjang ini utamanya untuk pembiayaan kredit infrastruktur seperti LRT Jabodetabek dan tol trans Sumatra. Bank Mandiri mengaku pada tahun ini berencana melakukan pinjaman luar negeri sebesar US$ 1 miliar.

Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, dengan masuknya dana pinjaman luar negeri sebagai perhitungan LFR, akan melonggarkan kondisi likuiditas.

“Pinjaman luar negeri merupakan salah satu opsi pembiayaan jangka panjang,” imbuh Suprajarto, Direktur Utama BRI.

Sementara, Thilagavathy Nadason, Direktur Keuangan Maybank Indonesia mengaku, selama ini, belum ada aturan yang melandasi terkait pinjaman luar negeri sebagai komponen pembentuk LFR. “Belum ada diskusi dengan OJK juga terkait ini,” ujar Thila, Jumat (31/3).

Menurut Thila, tahun ini, pihaknya belum berencana melakukan pinjaman luar negeri baru. Sebab, pinjaman dari induk yaitu Maybank Malaysia sebesar US$ 500 juta tercatat belum dieksekusi.

Parwati Surjaudaja, Direktur Utama Bank OCBC NISP menekankan efek masuknya pinjaman luar negeri terhadap LFR ini akan cukup signifikan membantu likuiditas. “Sehingga bank bisa mengurangi intensitas mencari dana masyarakat sebagai sumber pendanaan untuk menurunkan LFR dibawah batas maksimum,” ujar Parwati kepada KONTAN, Jumat (31/3)

Selain meminta relaksasi LFR, beberapa bankir juga meminta relaksasi produk hedging, yaitu cross currency swap (CCS). Tiko menyebut, relaksasi itu perlu karena selama ini biaya bunga untuk melakukan CCS masih cukup mahal yaitu 6% sampai 7%.

“Dengan CCS yang murah akan memudahkan bank untuk mengkonversi pinjaman valas ke rupiah,” ujar Tiko. Terkait dengan pinjaman luar negeri dalam bentuk valas, Bank Mandiri mengaku sudah ditawari dari beberapa bank dari Jepang dan China.

Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI mengatakan biaya cross currency swap akan turun, jika risk premium Indonesia membaik. “Hal ini ditunjukkan dengan indikator inflasi rendah, neraca surplus, dan beberapa angka makro lain juga sehat,” ujar Mirza, Jumat (31/3).

Secara umum biaya cross currency swap sangat ditentukan oleh kondisi pasar. Terkait dengan kondisi likuiditas sampai Januari 2017 tercatat LDR industri perbankan 89,59% atau turun dari periode yang sama 2016 90,95%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×