kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Tekfin menghadang bank di bisnis pembayaran


Rabu, 18 September 2019 / 21:01 WIB
Tekfin menghadang bank di bisnis pembayaran
ILUSTRASI. Financial Technology (Fintech)


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Accenture memprediksi penetrasi perusahaan teknologi finansial (Tekfin) akan menjadi ancaman serius bagi bank dalam bisnis pembayaran global. Menanggapi hal tersebut, sejumlah bank tanah air masih optimitis.

Hingga akhir 2019, Accenture dalam laporan bertajuk Global Payments Pulse Survey 2019 memprediksi bisnis pembayaran global bisa menghasilkan pendapatan hingga US$ 1,51 triliun. Dari nilai tersebut 91,9% atau setara US$ 1,39 triiliun masih akan dikuasai bank, sedangkan 8,1% atau setara US$ 121 miliar dikuasai pemain non-bank.

Sedangkan pada 2025, Accentrure memprediksi bisnis pembayaran bakal menghasilkan pendapatan hingga US$ 2,09 triliun. Sementara pangsa pasar bank diprediksi akan tergerus hingga menjadi 85,5% atau setara US$ 1,64 triliun saja. Sisa 14,5% atau setara US$ 444 miliar akan dikuasai pemain non bank.

Baca Juga: Resmi berizin OJK, fintech lending Tokomodal makin optimistis melihat potensi bisnis

“Dampak dari perkembangan sistem pembayaran yang instan, tak terlihat, dan gratis alias instant, invisible, dan free (IIF) payment sangat signifikan memukul bisnis bank. Dari analisis kami, konteks ini akan menurunkan pangsa pasar bank hingga 15% pada 2025. Bank berpotensi kehilangan pendapatan hingga US$ 280 miliar,” tulis laporan yang dipimpin Alan McInttyre, Senior Managing Director Accenture.

Analisis Accenture didasari makin merosotnya tren pembayaran via layanan bank seperti kartu debit, dan kartu kredit. Baik yang digunakan oleh korporasi atau ritel. Secara global pendapatan kartu yang dilakukan oleh korporasi tercatat anjlok hingga 33,3% dari pendapatan senilai US$ 2,76 per transaksi pada 2015 menjadi US$ 1,84 per transaksi.

Sedangkan pendapatan kartu debit telah anjlok 14,6% per transaksi. pada 2015 bank rata-rata bisa mendapat pendapatan US$ 0,34 per transaksi, sedangkan pada 2018 nilai pendapatannya berkurang menjadi US$ 0,29 per transaksi. Pun dari kanal kartu kredit, pada 2018 pendapatan yang bisa dihasilkan bank dari satu kali transaksi kartu kredit mencapai US$ 1,21. Nilai ini merosot hingga 11,6% pada 2018 dengan nilai pendapatan US$ 1,07 per transaksi.

Baca Juga: Bank dan fintech bersinergi, BI optimistis inklusi keuangan bisa capai 75% di 2019

Di Indonesia tren serupa juga terjadi, pertumbuhan nominal transaksi kartu debit telah anjlok sejak 2016. Pada 2016 pertumbuhan nominal transaksi kartu debit sebesar 14,82%, kemudian pada 2017 sebesar 10,25%, dan sedikit membaik pada 2018 sebesar 11,72%.

Catatan lebih buruk terjadi pada transaksi via kartu kredit sejak 2014 yang nominal transaksinya mencatat pertumbuhan 14,18%. Kemudian pada 2015 sebesar 9,99%, anjlok parah pada 2016 sebesar 0,16%, 2016 sebesar 5,95%, dan 2018 sebesar 5,55%.

Direktur PT Bank Central Asia Tbk Santoso Liem mengakui memang terjadi tren penurunan terkait bisnis pembayaran oleh bank. Meski demikian ia bilang hal tersebut justru jadi tantangan agar bank bisa mengumpulkan pendapatan dari kanal lain.

“Sampai saat ini pendapatan komisi dari kartu kredit dan kartu debit masih tumbuh meskipun trennya terjadi sedikit penurunan. Namun dengan solusi pembayaran yang makin beragam dan, sehingga alternatif pembayaran bisa menggantikan pendapatan komisi bagi bank,” paparnya kepada KONTAN, Rabu (18/9).

Portofolio kartu kredit perseroan memang tercatat melandai pada semester 1-2019 dengan pertumbuhan cuma 6% senilai Rp 12,89 triliun. Sedangkan pada semester 1-2018 portofolio kartu kredit BCA sebesar Rp 12,33 triliun.

Pun kontribusi komisi terhadap pendapatan non bunga perseroan juga terhitung menurun, meskipun secara total nilainya melonjak.

Pada semester 1-2018 dengan pendapatan bunga senilai Rp 7,71 triliun kontribusi pendapatan komisi perseroan mencapai 71,5% atau setara Rp 5,51 triliun. Sedangkan pada semester 1-2019, dengan total pendapatan non bunga Rp 9,61 triliun, kontribusinya sebesar 67,6% atau setara Rp 6,49 triliun.

Baca Juga: Wow, 100 fintech bakal meramaikan Indonesia Fintech Summit & Expo 2019

Hal senada juga turut dirasakan PT Ban Mandiri Tbk (BMRI), pendapatan komisi dari transaksi kartu debit perseroan cuma tumbuh 3,2% (yoy) pada Agustus 2019. Meskipun Senior Vice President Transaction Banking and Retail Sales Bank Mandiri Thomas Wahyudi masih menyatakan optimismenya atas kinerja perseroan di bisnis pembayaran.

“Pertumbuhan pendapatan komisi didorong peningkatan akseptasi jaringan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) yang terlihat dari peningkatan volume transaksi off-us yang sebelumnya rata-rata Rp. 1,2 Triliun per bulan pada 2018 menjadi sekitar Rp. 1,5 Triliun per bulan pada 2019,” katanya kepada Kontan.co.id.

Menghadapi tantangan penetrasi dari perusahaan Tekfin, bank berlogo pita emas ini disebut Thomas juga mulai mengoptimalkan transaksi daring via kartu debit.

Baca Juga: Beri dukungan tekfin, OJK gandeng otoritas Singapura dan Malaysia

“Selain itu peningkatan pendapatan komisi dari kartu debit juga didukung oleh peningkatan transaksi di merchant e-commerce yang sebesar Rp. 1,4 Triliun pada Agustus 2019 atau naik 44% (yoy),” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×