Reporter: Fitri Nur Arifenie, Tendi Mahadi | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Belum genap beroperasi dua tahun, neraca keuangan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah berdarah-darah. Nilai klaim yang dibayarkan lebih besar ketimbang jumlah iuran yang masuk, membuat neraca BPJS defisit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil pernah menyatakan, potensi defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 11 triliun tahun ini (lihat Harian KONTAN edisi 19 Juni 2015). Tak ingin berlama-lama tekor, BPJS mengajukan sejumlah usulan kepada pemerintah. Lewat intervensi regulasi, BPJS Kesehatan berharap nilai defisit akan menciut.
Ada dua usulan yang disodorkan BPJS. Pertama, menghilangkan grace period bagi yang menunggak iuran. Saat ini, peserta BPJS bukan penerima upah masih bisa memperoleh layanan kesehatan selama enam bulan meski menunggak iuran. Sedangkan, bagi peserta BPJS penerima upah yang menunggak iuran ada batas waktu tiga bulan.
Sebagai gambaran, BPJS membayar Rp 6.000 per bulan kepada Puskesmas. Berarti dalam tujuh bulan, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan biaya Rp 42.000.
Padahal, jumlah iuran yang dibayar peserta hanya untuk satu bulan atau sebesar Rp 25.000. "Ini tidak balance antara kewajiban yang dibayar BPJS dengan iuran yang diterima, belum kalau menggunakan rumah sakit," kata Irfan Humaidi, Kepala Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, kemarin.
Usulan kedua, menaikkan pengali pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Saat ini, dasar perhitungan iuran paling tinggi 4,5% dikalikan dua kali dari PTKP. Nah, BPJS mengusulkan ini diubah menjadi antara lima hingga tujuh kali PTKP. "Namun, sepertinya sedang dibahas tiga kali PTKP," papar Irfan.
Contoh sederhananya, besar PTKP saat ini sebesar Rp 2,37 juta per bulan untuk keluarga dengan dua anak. Berarti, patokan maksimal iuran BPJS adalah 4,5% dikalikan Rp 4,73 juta atau sekitar Rp 212.000 per bulan.
Dus, berapapun besar gaji pekerja, maksimal iuran BPJS hanya sekitar Rp 212.000. Nah, kalau patokan pengali PTKP ditambah, otomatis iuran yang dibayarkan peserta juga akan naik.
Selain mengubah batasan atas, BPJS juga mengusulkan kejelasan batas bawahnya. Perhitungan batas bawah iuran peserta PPU ialah 4,5% kali upah minimum tiap daerah. "Sekarang tidak jelas apakah upah minimum kabupaten atau upah minimum regional (UMR). Makanya perlu batas bawah UMR," tambah Irfan
Kalangan pengusaha keberatan dengan rencana BPJS menaikkan iuran. Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia menilai, BPJS Kesehatan sebaiknya menghitung ulang rencana kenaikan iuran yang menambah beban pengusaha.
Ia mengakui, kehadiran BPJS Kesehatan memberi manfaat besar. "Tapi kurang tepat bila solusinya menaikkan iuran," kata Haryadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News