Reporter: Umar Idris, Roy Franedya, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) memiliki dua senjata andalan untuk menjaga nilai tukar rupiah. Senjata pertama adalah cadangan devisa untuk melakukan intervensi ke pasar valuta asing (valas).
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sebesar 11,22% dalam tiga bulan terakhir hingga 30 Agustus lalu, memaksa BI merogoh koceknya dalam-dalam. Cadangan devisa pun merosot tajam 11,87% dari 31 Mei 2013 menjadi US$ 92,67 miliar per akhir Juli lalu. Nilai cadangan devisa tersebut diyakini sudah makin menciut sekarang. Lazimnya, BI selalu memperbarui posisi cadangan devisa itu di situs web resminya setiap akhir bulan. Namun, entah mengapa, hingga pekan pertama September ini, posisi cadangan devisa masih per 31 Juli 2013.
Senjata kedua operasi moneter BI adalah suku bunga acuan BI rate. Sejak tiga bulan terakhir, seiring melemahnya rupiah, BI sudah tiga kali mengerek suku bunga acuan itu dari level terendahnya 5,75% pada awal Mei lalu. Yang terbaru adalah pada 29 Agustus lalu, BI menggelar rapat dewan gubernur (RDG), yang di luar jadwal kelazimannya pada pekan pertama atau kedua di awal bulan, untuk menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 7%.
BI juga menaikkan suku bunga lending facility menjadi 7% dan suku bunga deposit facility menjadi 5,25%. Dalam siaran persnya, Direktur Eksekutif Komunikasi Bank Indonesia, Difi A. Johansyah menyatakan, langkah tersebut bertujuan mengendalikan laju inflasi dan memperkuat rupiah. Maklum, secara tahunan, infl asi per akhir Agustus 2013 sudah membumbung mencapai 8,79%.
Toh, langkah tersebut belum mujarab menangkal pelemahan rupiah. Dalam sepekan terakhir ini, berdasarkan kurs tengah BI, mata uang Garuda sudah terkoreksi 1,84% menjadi Rp 11.125 per dollar AS pada Kamis (5/9) lalu. Bahkan, pada hari itu, berdasarkan data Bloomberg, rupiah sudah melemah ke posisi Rp 11.701 per dollar AS.
Alhasil, kini, para pengamat dan pelaku pasar mempertanyakan keampuhan senjata andalan BI tersebut. Secara historikal, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan Muhammad Doddy Arifi anto melihat BI tak pernah menetapkan BI rate di atas prediksi inflasi. Rentang yang biasa diambil adalah 2%–2,5%. Jadi, jika menggunakan proyeksi infl asi tahun ini oleh BI sebesar 9%–9,8%, maka BI rate semestinya bisa dijaga 6,5%–7,8% atau maksimal masih bisa dinaikkan 50 bps lagi.
Mengerem konsumsi
Masalahnya, menurut Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, pertumbuhan ekonomi akan melambat jika BI rate ada pada level 8%–9%. Jika level bunga acuan tersebut dibiarkan hingga mencapai 9,5% maka bahaya resesi ekonomi sudah di depan mata. “Menaikkan BI rate menjadi 7% adalah langkah BI yang tak efektif,” tukasnya.
Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Wiwiek Sisto Hidayat, BI rate sebesar 7% akan membuat pertumbuhan kredit tahun ini melambat ke kisaran 19%–20%. “Ini cukup mampu mendukung pertumbuhan ekonomi 5,8%–6,2%,” katanya.
Pasalnya, menurut Doddy, kenaikan BI rate tersebut akan berdampak pada membengkaknya biaya dana atau cost of fund perbankan seiring kenaikan bunga simpanan. Alhasil, perbankan pasti akan menaikkan bunga kredit untuk menutup biaya dana tersebut. Doddy bilang, perbandingan kenaikan bunga deposito dan BI rate secara historikal adalah 1:1. Sedangkan kenaikan bunga tabungan dan BI rate 1:0,6.
Dus, dalam penentuan besaran kenaikan bunga simpanan maupun pinjaman, bank juga melihat persaingan dengan bank lain. Apalagi, di tengah kondisi likuiditas yang mengetat saat ini. Perbankan kompak memilih strategi mengelus-ngelus nasabah kelas kakap demi memagari dana simpanannya.
Lihat saja langkah Bank Mutiara dan Bank Mega yang sigap menaikkan bunga deposito untuk nasabah pemilik dana di atas Rp 500 juta. Alhasil, kelas deposan ini bisa menikmati bunga deposito sebesar 5%–8%.
Bank Mega malah sudah menaikkan bunga deposito sejak akhir Juni lalu. Untuk deposito berjangka tiga bulan hingga enam bulan, bunganya naik dari 5% menjadi 6%–6,25%. Kemungkinan, besaran bunga deposito itu bakal naik lagi seiring kenaikan BI rate menjadi 7%.
Tak cuma bank kelas menengah-kecil, bank kakap seperti Bank Central Asia (BCA) juga sudah menaikkan bunga simpanan. Bank ini sudah meninggikan bunga deposito dari 3% pada April lalu menjadi 6,25% per awal September ini.
Selain bunga simpanan, perbankan telah mengerek bunga kredit sejak dua bulan lalu. “Semua kredit termasuk kredit usaha tentu akan kami revisi,” kata Henry Koenaifi , Direktur Konsumer BCA. Tapi, Kostaman Thayib, Presiden Direktur Bank Mega bilang, bank akan berhati-hati menaikkan bunga sektor korporasi karena persaingannya sangat ketat.
Purbaya berpendapat bunga kredit konsumsi seperti kredit pemilikan kendaraan dan kredit pemilikan rumah (KPR) berpeluang naik paling tinggi pasca BI rate naik. Begitu pula dengan kredit usaha mikro kecil menengah (UMKM). Contohnya BCA, yang akan menaikkan bunga KPR pada pekan kedua September ini dari semula 7,5% ke kisaran 8,25%–9,9%.
Ayo, kita mulai mengerem nafsu konsumsi agar tak tercekik bunga kredit tinggi!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 49 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News