kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tumbuh melesat, apakah P2P lending Indonesia bisa bernasib seperti di China?


Kamis, 03 Oktober 2019 / 17:12 WIB
Tumbuh melesat, apakah P2P lending Indonesia bisa bernasib seperti di China?
ILUSTRASI. Financial Technology (Fintech)


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis fintech peer to peer (P2P) lending Indonesia memasuki usia 4 tahun. Kehadiran industri ini ditandai saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan Peraturan (POJK) 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Selama itu pula bisnis ini tumbuh cepat dan menjamur. Hingga Juli 2019, jumlah pinjaman yang sudah disalurkan P2P lending mencapai Rp 49,79 miliar. Dari jumlah tersebut hanya 2,52% yang mengalami pinjaman bermasalah atau wanprestasi.

Baca Juga: Genjot penyaluran kredit, Amartha gandeng lima bank sebagai lender

Adapun pemainnya terus bertambah hingga 127 entitas, tujuh diantaranya telah mendapatkan izin dari regulator. Sisanya masih mengantongi status terdaftar dari OJK.

Pertumbuhan industri P2P lending yang begitu cepat tidak hanya terjadi di Indonesia. Mengutip Reuters, model bisnis ini sudah populer di China sejak 2011. Bahkan hingga 2015, terdapat 3.500 entitas P2P lending di negeri bambu itu.

Namun, bisnis yang melaju kencang diawal ini, terseok dan jatuh seiring munculnya berbagai protes. Pemerintah mengambil tindakan dan membuat aturan ketat pada Juni 2018. Berkat aturan ini, ribuan pelaku P2P lending China berguguran.

Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menilai industri P2P lending Indonesia dan China sangat berbeda. Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengakui berkembang P2P lending di China tumbuh pesat, tetapi pemerintah China terlambat mengatur dan mengawasi melalui peraturan dan kebijakan.

Baca Juga: Asyik, LinkAja bakal bisa dipakai untuk pembayaran tiket KRL Commuter Line

“Sehingga industri P2P lending berkembang tanpa ada yang mengawasi operasional usaha penyelenggara P2P lending. Di China, isu utama adalah tidak ada perlindungan yang baik terhadap para pemberi pinjaman atau lender sehingga dana yang sudah disalurkan tidak dapat kembali," ujar Tumbur kepada Kontan.co.id pada Kamis (3/10).

"Ada yang karena platform tidak menjalankan mitigasi risiko dengan benar ada juga yang melakukan penggelapan dana lender. Saat pemerintah China ikut mengatur dan mengawasi, banyak P2P lending yang kolaps,” lanjut dia.

Ia membandingkan dengan kondisi Indonesia. Tumbur bilang OJK mengawali industri P2P lending Indonesia melalui POJK 77. Ia menyebut aturan ini mengatur penyelenggara P2P lending dengan cukup baik tanpa menghilangkan inovasi dan keleluasaan usaha.

Selain itu, lanjut Ia, AFPI juga telah ditunjuk oleh OJK untuk menjadi mitra regulator untuk self-regulatory organization atau SRO. Asosiasi juga turut serta mengatur industri secara independen bagi kepentingan semua stakeholder. Khususnya dengan memastikan menjalankan pedoman penyelenggaraan usaha (code of conduct) oleh semua anggota AFPI.

Baca Juga: Pinjaman fintech lending menembus Rp 49 triliun, AFPI tidak revisi target pinjaman

“POJK 77 dan Code of Conduct AFPI untuk saat ini masih dirasakan cukup membentengi namun ke depannya tidak cukup terkait dengan inovasi baru, business model baru, teknologi baru dan isu-isu baru yang timbul. Sehingga sangat diperlukan penyesuaian atau perubahan POJK dan CoC AFPI,” tutur Tumbur.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi bilang selalu mendorong pertumbuhan industri ini. Namun Ia tidak menginginkan P2P lending Indonesia berakhir seperti di China. Lanjut Ia oleh sebab itu, OJK terus mengawasi dan menerapkan kehati-hatian.

“Kita tidak mau industri berakhir seperti di China yang mengalami kerusakan yang luar biasa. Kami akan jaga agar industri ini tetap sehat di masa depan,” kata Hendrikus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×