kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Uang muka naik, bisnis multifinance bisa turun 50%


Rabu, 28 September 2011 / 09:27 WIB
Uang muka naik, bisnis multifinance bisa turun 50%
ILUSTRASI. Rencana pembukaan sekolah tatap muka di Indonesia mulai Januari 2021 mendapat dukungan dari KPAI. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/wsj.


Reporter: Adisti Dini Indreswari, Nina Dwiantika |

JAKARTA. Perusahaan pembiayaan tidak mengkhawatirkan isu bubble, meski pertumbuhan pembiayaan saat ini sudah melesat tinggi. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) juga mengaku keberatan bila regulator mengatur down payment alias uang muka pembiayaan.

Ketua APPI Wiwie Kurnia bilang, pertumbuhan yang terjadi di industri pembiayaan masih sesuai dengan koridor pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Apa salahnya kalau ekonomi tumbuh, yang beli mobil dan sepeda motor juga tumbuh," kata Wiwie dalam halal bihalal dan pertemuan perusahaan pembiayaan di Jakarta, Selasa (27/9).

Wiwie juga berpendapat bubble tidak ada kaitannya dengan uang muka. "Bubble atau tidak, uang muka pasti kita atur," ujarnya. Wiwie menambahkan, hal paling penting bukan soal besaran uang muka, tapi siapa si debitur multifinance tersebut.

Karena itu, Wiwie berharap Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sebagai regulator tidak mengeluarkan aturan mengenai uang muka pembiayaan dan menyerahkannya pada masing-masing perusahaan. Ia memperkirakan, jika uang muka harus minimal 30%, bisnis pembiayaan bisa stop. "Penjualan mobil, misalnya, bisa turun sampai 50%," ujar Wiwie.

Masih riset

Ketua Bapepam-LK Nurhaida mengaku, pihaknya sudah mulai melakukan pembicaraan terkait pengaturan uang muka pembiayaan. Namun, dia belum bisa menyampaikan perkembangannya karena belum final. "Kami akan riset lebih dulu," kata Nurhaida.

Salah satu indikator yang menjadi bahan pertimbangan bisnis ini adalah pembiayaan macet alias non performing financing (NPF). Saat ini, tingkat NPF hanya 1,3%. Angka pembiayaan macet ini menurun dibanding tahun 2008 yang masih mencapai 2,7%. "Loan to value (LTV) dan uang muka seharusnya tidak perlu diatur. Yang penting adalah NPF. Sekarang NPF sudah menurun, mau apa lagi?" ujar Wiwie.

Namun, NPF bukan satu-satunya indikator. Indikator lain adalah uang muka yang mencerminkan tingkat risiko. "Tentunya uang muka tidak flat. Untuk nasabah yang risikonya tinggi, uang muka juga harus tinggi. Nah, kami sedang mencari yang imbang," tutur Nurhaida.

Menurut Nurhaida, pengaturan uang muka ditujukan untuk aspek keamanan. Sifatnya lebih ke arah risk management dan antisipasi. Bapepam-LK belum menentukan ambang NPF untuk membuat peraturan. Sedangkan menurut Wiwie, ambang NPF yang pas adalah 3%.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melihat pertumbuhan kredit konsumsi, khususnya sektor otomotif cukup tinggi. Deputi Gubernur BI Hartadi Agus Sarwono sempat memperingatkan terjadinya bubble di sektor otomotif dan properti. BI tengah mempersiapkan beberapa perubahan aturan, seperti rencana menaikkan uang muka minimal pembiayaan otomotif dan properti.

LTV ratio memang belum diterapkan sistematis, tapi rata-rata menggunakan komposisi kredit bank 90% dan uang konsumen 10%. "Kami nanti akan memperbesar DP," tutur Hartadi. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×