Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
Tetapi di luar itu, Siddik juga menyampaikan agar pemangku kebijakan saat ini bisa memilah atau menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan.
Apabila itu bersifat jangka menengah dan panjang, tentu perlu pengkajian yang lebih dalam semisal mengadopsi best practice di negara lain.
Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani menyebut ada dua hal yang saat ini perlu dibenahi ke depannya. Hal pertama yaitu lembaga pengawas dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebaiknya diperkenankan mengambil keputusan.
"Misalnya, OJK diberi kewenangan boleh (memberi izin) merger atau akuisisi, tapi tidak punya uang. Kalau kasih rekomendasi tapi tidak punya uang akhirnya orang lain yang mengerjakan," katanya dalam Webinar yang sama.
Baca Juga: DPR Gagas Revisi UU BI, Independensi Bank Indonesia Dipangkas
Kedua, Aviliani menilai fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus diperkuat. Sebab, aturan yang berlaku menyatakan bahwa LPS hanya boleh bertindak ketika salah satu bank dinyatakan gagal.
"Kalau LPS menunggu bank gagal, baru ditangani justru mahal. Justru ketika ada bank bermasalah, mungkin aset bagusnya diambil investor dan aset bermasalahnya saja yang diurus LPS," terangnya.
Menurut Aviliani, dalam melakukan revisi kebijakan pemerintah harus lebih teliti melihat dampak ke depannya. Terutama dampak terhadap kondisi pasar.
Di sisi lain, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menggarisbawahi, revisi aturan tersebut baru bisa dilakukan apabila ada kebutuhan mendesak.
Bila tetap dilakukan, ia menilai hal tersebut justru dapat menempatkan BI dan OJK menjadi tidak independen lantaran dapat diintervensi oleh pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News