Reporter: Barly Haliem, Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
Derasnya tekanan arus keluar dana nasabah dari Bukopin juga tergambar pada surat OJK ke Direktur Utama PT Bosowa Corporindo Sadikin Aksa tertanggal 10 Juni 2020.
Waktu itu, otoritas pengawas dan pengatur industri keuangan juga mengingatkan agar besarnya posisi likuiditas Bank Bukopin (BBKP) menjadi perhatian serius pemegang saham.
Peringatan tersebut juga kembali ditekankan oleh OJK saat berembuk dengan Bosowa Corporindo serta manajemen Bukopin pada 24 Juni 2020.
Dalam risalah rapat tersebut, OJK mengingatkan pentingnya dukungan komitmen Bosowa Corporindo terhadap Bank Bukopin. Apalagi, tekanan likuiditas yang dihadapi oleh Bukopin masih terjadi, sehingga bank ini harus menunda transaksi nasabah dalam jumlah besar demi mengurai kepadatan arus penarikan dana.
Pada saat bersamaan, simpanan giro Bukopin di Bank Indonesia juga menipis. Jumlahnya kurang dari Rp 150 miliar. Pun ada kewajiban repo BI serta prefund debit masing-masing sebesar Rp 236 miliar dan Rp 26 miliar.
Langkah krusial untuk menambah pasokan likuiditas di Bukopin memang sudah dilakukan. Misalnya, OJK memerintahkan pemegang saham untuk menempatkan dananya di Bukopin.
Perintah ini setidaknya membuahkan hasil. Pertengahan Juni 2020, Kookmin menempatkan dana US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun di Bukopin.
Untuk sementara, asupan dana segar dari pemegang saham asal Korea Selatan itu bisa mengendurkan ketatnya likuiditas di Bukopin. Namun demikian, penempatan dana ini tak lebih dari langkah parasut untuk mengatasi persoalan jangka pendek di Bukopin.
Dibutuhkan langkah fundamental untuk mengurai akar persoalan yang dihadapi Bukopin. Lagi pula, gambaran ketatnya likuiditas di Bank Bukopin menjadi sinyal kuat bahwa semua pemangku kepentingan harus segera bertindak untuk segera mengatasi persoalan Bukopin.
Komitmen fundamental itu sungguh penting berkaitan dengan pengembalian kepercayaan nasabah, khususnya kepada Bukopin, maupun kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan pada umumnya. Tidak boleh ada ruang untuk mengulur waktu agar persoalan Bukopin tidak menjadi bom waktu di kemudian hari.
Sebagai catatan, mula buka persoalan yang dihadapi Bukopin bermula dari ketiadaan pemegang saham pengendali di bank ini. Bosowa dan Kookmin memang tercatat sebagai pemegang saham terbesar di Bukopin.
Namun keduanya masing-masing memiliki kurang dari 25% saham Bukopin. Pun tidak ada yang tercatat sebagai pengendalinya.
Akibatnya, tidak ada pemegang saham yang bisa mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas bank yang menjadi anak perusahaannya.
Pada gilirannya, problem ketiadaan pengendali ini kemudian melebar ke urusan likuiditas. Situasi semakin runyam manakala pandemi corona merambah Indonesia.
Nah, sejauh ini OJK, Bosowa dan Kookmin sudah berembuk menyusun alternatif solusi untuk menentukan pemilik saham pengendali sekaligus mengurai persoalan likuiditas Bukopin.
Sejauh ini, ada satu pilihan yang didorong OJK; yakni meloloskan Kookmin menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pemegang saham pengendali Bank Bukopin.
Baca Juga: Bola Penyelamatan Bank Bukopin (BBKP) di Tangan OJK
Dua skenario ditimbang untuk meloloskan Kookmin. Pertama, melakukan Penawaran Umum Terbatas (PUT) V. Targetnya, skenario ini bisa tuntas Juli 2020.
Kabar yang sampai KONTAN, PUT V ini akan menawarkan harga Rp 180 per saham. Namun, tentu saja, penentuan harga itu akan diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bukopin.
Lewat skenario ini, Bosowa mengeksekusi saham sesuai dengan porsi penempatan dananya di akun escrow senilai Rp 193 miliar. Alhasil, porsi kepemilikan saham Bosowa tidak terdilusi atau tetap memiliki sekitar 23% saham Bukopin.
Sementara bagi Kookmin KB Kookmin, kepemilikan sahamnya bisa bertambah menjadi 37,7%. Di sinilah peliknya. Porsi kepemilikan Kookmin, serta harapan agar bank ini menginjeksi modal segar dalam jumlah besar bisa tidak optimal karena kepemilikannya mentok di angka 37,7%.
Memang, PUT V ini bisa dilanjutkan dengan penyertaan langsung (private placement) untuk menambah porsi kepemilikan Kookmin menjadi minimal 51%. Tapi proses dan tahapan selanjutnya juga membutuhkan waktu, dan belum tentu bisa mengatasi segera kebutuhan mendesak Bukopin.
Selain itu, skenario ini juga bisa berjalan asalkan pemegang saham lain secara sukarela mau terdilusi atau berkurang porsi kepemilikannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin pemegang saham tidak melaksanakan haknya, ketika agenda PUT V ini menawarkan harga saham Bukopin relatif murah di harga Rp 180 per saham?
Belum lagi, penentuan harga PUT V sebesar Rp 180 per saham harus diputuskan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB). Prosesnya bisa membutuhkan waktu lagi, termasuk untuk memenuhi kuorum rapat tersebut. Pendek kata, skenario pertama ini sulit terlaksana dalam waktu singkat dan cepat mengatasi persoalan mendesak Bukopin.