Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tak bisa tumbuh subur 2008 lalu. Tingkat bunga yang tinggi dan anjoknya harga berbagai jenis komoditas turut menyumbang kredit macet alias non performing loan (NPL) di BPR.
Pada Desember 2008 rata-rata NPL di BPR mencapai 9,88%. Angka ini jelas di luar perkiraan para pengelola BPR. Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) Said Hartono semula memperkirakan NPL sepanjang 2008 bisa mencapai 7% atau sedikit berkurang dibanding 2007. "Tapi ternyata perkiraan kami meleset karena banyak BPR yang tidak melakukan hapus buku pada akhir tahun 2008," kata Said, Senin (9/2). Meski begitu Said optimistis pada triwulan I 2009 persentase NPL di BPR akan turun menjadi 7% lagi.
Sekjen Perbarindo Sawaludin juga menyebutkan penyumbang NPL di BPR secara nasional paling besar berasal dari Lampung yakni BPR Tripanca. "Kredit macetnya mencapai Rp 350 miliar dan itu terhitung besar untuk ukuran NPL BPR," kata Sawaludin.
Sementara itu sisi pengumpulan dana pihak ketiga (DPK)BPR juga mengalami kesulitan. Sepanjang 2008 mereka hanya bisa mencatat pertumbuhan dana masyarakat sebesar 14%, dari Rp 18,7 triliun menjadi 21,34 triliun.
Kondisi ini terjadi karena BPR harus bersaing dengan bank umum yang menawarkan bunga tinggi kepada masyarakat. "Perbankan kita terjebak pada kondisi perang bunga," ujar Sawaludin.
Apalagi bank umum menawarkan berbagai kemudahan transaksi perbankan secara online karena punya dukungan permodalan yang kuat.
Melihat fakta ini BPR pun tak berani mamatok target tinggi pada tahun ini. Said Hartono memperkirakan paling banter tumbuh 15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News