kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Ada pandemi, bisnis bank kian menantang


Senin, 19 Oktober 2020 / 23:20 WIB
Ada pandemi, bisnis bank kian menantang


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setahun belakangan, industri perbankan melulu menghadapi tantangan, tak cuma sulit mengalami masa emas dengan mencatat pertumbuhan kredit 20-30% pada 2010-an, pandemi coronavirus bikin bank makin terseok. Meski demikian, dorongan konsolidasi dari pemerintah dan otoritas mulai menampakkan hasilnya sejak tahun lalu. 

Tanpa ada pandemi, sejatinya kinerja industri perbankan cukup menantang. Tahun lalu, pertumbuhan kredit misalnya cuma tercatat cuma 6,04%. Melanjutkan tren perlambatan sejak beberapa tahun belakangan yang sebelumnya masih bisa mencatat pertumbuhan di atas 10%.

Catatan serupa juga terjadi dari aspek penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), tahun lalu pertumbuhannya juga cuma di kisaran 6,5%. Pertumbuhan DPK tlah berada di bawah 10% sejak awal 2010. 

Baca Juga: Pengamat: Wacana pengembalian pengawasan bank ke BI lebih banyak mudaratnya

Ini pula yang membuat likuiditas perbankan cenderung meningkat belakangan tahun. Sampai puncaknya semester II-2019 lalu, Bank Indonesia turut melonggarkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dari 82-92% menjadi 84-94%. Niatnya guna mendongkrak pertumbuhan kredit kembali di atas 10%. Sayang jauh panggang dari api. 

Apalagi sejak awal tahun, pandemi global Covid-19 ikut menyerang tanah air. Tahun ini yang ditargetkan membawa asa baru justru membelenggu. Pemerintah bersama otoritas keuangan berupaya mencegah dampak negatif pandemi, sejumlah stimulus stimulus diluncurkan.

Salah satu yang pertama dan utama adalah relaksasi ketentuan restrukturisasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak Maret, bank tak perlu menyisihkan pencadangan buat debiturnya yang terimbas pandemi. penilaian kolektabilitas kredit pun dipangkas hanya mengandalkan satu pilar. Tujuannya agar rasio kredit macet bank dapat ditekan, sekaligus mengurangi biaya pencadangan yang perlu dibentuk

Sampai 27 September 2020, telah ada 100 bank yang merestrukturisasi kredit senilai Rp 904,285 triliun dari 7.465.990 debitur. Nilai tersebut berasal dari 5.824.976 debitur UMKM dengan nilai kredit Rp 359,977 triliun, dan 1.641.014 debitur non UMKM dengan kredit Rp 544,308 triliun. 

Baca Juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf Amin, ini menteri-menteri paling mencolok pilihan pengusaha

Sayangnya, kebijakan ini tak serta merta bisa menekan non performing loan (NPL). Terutama pada kuartal II-2020, NPL telah beranjak ke level di atas 3%. Pun, meski tak diwajibkan, sejumlah bank tetap membentuk pencadangan ekstra guna memitigasi risiko lebih lanjut. 

Maklum, tak semua debitur bank laik dapat relaksasi restrukturisasi. Sehingga bank juga perlu membentuk pencadangan untuk menghindari kenaikan NPL, sekaligus kerugian yang makin dalam. 

Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo pun mengimbau hal serupa. Ia bilang meskipun OJK telah memastikan adanya perpanjangan waktu restrukturisasi kredit terimbas pandemi, bank kini mesti bersiap menghadapi dampak lanjutan terhadap debitur yang gagal bertahan akibat pandemi. 

“Buat debitur yang dapat bertahan selama pandemi bisa diberikan restrukturisasi lanjutan oleh bank, sementara yang gagal, tentu bank mesti menyiapkan pencadangan untuk mencegah pemburukan kredit,” ujarnya pada KONTAN. 

Sementara bank melakukan mitigasi risiko, penyaluran kredit kini juga dibatasi oleh bank. Ini seiring makin tingginya risiko alias loan at risk (LaR) selama pandemi. Sampai akhir semester I-2020, rasio LAR telah mencapai 14,8%, level tertinggi sejak 2013.

Penyebab utamanya memang soal pandemi yang bikin bikin ekonomi terhenti. OJK mencatat sampai Agustus 2020, pertumbuhan kredit masih negatif 1,69% (ytd). Kelompok bank swasta dan bank pelat merah jadi penyebab utama, masin-masing mencatat pertumbuhan negatif 3,83% (ytd), dan 0,88% (ytd).

Sementara bank daerah, bank campuran tercatat telah meraih pertumbuhan yang positif masing-masing sebesar 1,70% (ytd), dan 1,46 (ytd). Khusus untuk bank daerah, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboj Santoso bilang, pertumbuhan kredit utamanya ditopang oleh penyaluran kredit kepada aparat sipil negara (ASN) yang sebenarnya tak berdampak banyak terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Baca Juga: Gandeng Bank Mandiri, Pelindo IV berikan kredit PEN kepada supplier atau vendor

“Stimulus dari pemerintah sebenarnya sudah cukup, likuiditas saat ini juga sangat longgar. Namun penyaluran kredit tidak bisa normal, karena bisnis memang belum pulih, dan ini tidak bisa dipaksa,” kata Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiatmadja. 

Khusus buat bank pelat merah, pemerintah via Kementerian Keuangan juga telah berupaya mendorong penyaluran kredit dengan penempatan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai total Rp 47,5 triliun. 

Tak cuma kepada bank BUMN, Kemenkeu juga memarkirkan dana PEN kepada 12 bank daerah dan 3 bank syariah, dan berencana memperluas penempatan ke bank swasta. Totalnya pemerintah punya alokasi Rp 78,8 triliun dalam rangka mendongkrak penyaluran kredit selama pandemi. Sampai akhir tahun, OJK punya membidik target pertumbuhan kredit 2-4%.

Mendorong konsolidasi

Beruntun menghadapi tantangan tak jadi halangan buat industri perbankan menjadi makin besar. Ini terlihat dari makin banyaknya bank-bank berukuran jumbo, sekaligus bank yang naik kelas BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha). 

Baca Juga: Ada pinjaman sindikasi jatuh tempo Februari 2021, Pan Brothers bakal refinancing

Ini tak lain berkat dorongan OJK dalam rangka konsolidasi perbankan. Akhir tahun lalu, OJK menerbitkan ketentuan hingga akhir tahun bank wajib punya modal minimum Rp 1 triliun hingga akhir tahun ini, dan akan terus ditingkatkan menjadi minimum Rp 2 triliun pada 2021, dan Rp 3 triliun pada 2022. 

Ini bikin sejumlah BUKU 1 yang sebelumnya bermodal di bawah Rp 1 triliun bergegas gelar aksi tambah modal. Ketentuan ini pun cukup efektif, sampai Juli 2020, tercatat jumlah BUKU 1 telah berkurang menjadi 14 bank dibandingkan akhir tahun lalu sebanyak 17 bank. 

Memang ada pula bank cilik yang diakuisisi, BCA misalnya mengakuisisi dua bank yaitu PT Bank Royal Indonesia yang telah bakal bertransformasi menjadi PT Bank BCA Digital, dan membeli PT Bank Rabobank International dan bakal menggabungkannya dengan PT Bank BCA Syariah. 

Tak cuma otoritas keuangan, pemerintah bahkan sampai turun tangan mendorong aksi konsolidasi ini. Hal tersebut terjadi saat Presiden Joko Widodo melakukan rapat terbatas terkait penyehatan PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS). Dalam rapat Presiden memerintahkan OJK membentuk tim khusus buat menyehatkan Bank Banten. 

Hal tersebut dilakukan lantaran kondisi keuangan Bank Banten memang terus menerus merosot. Bank Banten merupakan bank paling kecil di tanah air, modal intinya pada Juni 2020 cuma Rp 63,09 miliar. 

Pun sebelumnya, Presiden sempat meminta PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) buat membantu likuiditas perseroan, sekaligus ada wacana untuk menggabungkan kedua bank tersebut. Namun rencana kanda, Prmprov Banten memilih untuk melakukan penambahan modal Rp 1,55 triliun. Kini Bank Banten sedang dalam proses mengeksekusi rencana tambah modal tersebut. 

Tak cuma di kelas bank mini, bank menengah besar pun ikut tren konsolidasi yang telah dimulai sejak tahun lalu. Ada PT Bank BTPN yang yang menggabungkan diri dengan PT Bank Sumitomo setelah proses akuisisi oleh Sumitomo Bank Mitsuin Corporation (SMBC). 

Baca Juga: Neraca dagang surplus, neraca transaksi berjalan diproyeksi surplus tipis

Kemudian ada PT Bank Danamon yang juga menggabungkan usahanya dengan PT Bank Nusantara Parahyangan setelah diakuisisi MUFG Bank. Berkat akuisisi tersebut, Bank Danamon bahkan naik kelas ke BUKU 4 setelah akuisisi dan penjualan 70% PT Asuransi Adira Dinamika. 

Selain Bank Danamon ada PT Bank Permata Tbk (BNLI) yang juga baru menyandang status BUKU 4. Ini pun berkat aksi akuisisi oleh Bangkok Bank dan diteruskan oleh penggabungan aset Bangkok Bank di Indonesia. Adapun tahun lalu ada PT Bank Panin Tbk (PNBN) yang jadi BUKU 4 secara organik. 

Tambahan 3 bank membuat kelompok BUKU 4 kini beranggotakan 8 bank tak sampai bertahun-tahun. Sebelumnya hanya da 5 BUKU 4 yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMAR), BCA, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA).

Direktur Keuangan BR Haru Koesmahargyo bilang munculnya bank jumbo anyar ini saat ini memang belum berpengaruh banyak akibat pandemi. Meski demikian hal tersebut memang akan jadi tantangan ke depannya. 

Baca Juga: Setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, begini prospek industri keuangan

Haru masih optimistis BRI yang kini merupakan bank terbesar di tanah air dapat menjaga pangsa pasarnya dengan tetap berfokus ke segmen utama perseroan kepada UMKM, terutama segmen mikro dan didorong oleh kemamapuan digital perseroan. “Kami akan tetap fokus ke segmen UMKM, sekaligus meningkatkan transaction banking dan akselerasi digital untuk meningkatkan kinerja kami,” ungkapnya kepada KONTAN. 

Sedangkan paling anyar ada rencana lama Kementerian BUMN untuk menggabungkan tiga bank syariah entitas anak bank pelat merah: PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Mandri Syariah, dan PT Bank BNI Syariah yang akhirnya mulai diwujudkan. Pekan lalu, Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) telah mengumumkan rencana ini. 

Dari segmen perbankan syariah, tanpa melakukan penggabungan usaha, tiga bank syariah tersebut sejatinya telah menguasai pangsa pasar. Adapun rencana penggabungan ini disebut Wakil Direktur Utama Bank Mandiri sekaligus Ketua Tim Project Management Office Hery Gunardi guna menciptakan bank syariah terbesar di tanah air sekaligus dapat masuk jajaran sepuluh besar bank syariah berkapitalisasi teratas di dunia.

Selanjutnya: Bankir meramal tren biaya dana bakal terus melandai

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×