Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) tengah berupaya meningkatkan batas penyaluran pinjaman yang telah di atur oleh regulator. Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menyatakan pendekatan yang diambil oleh asosiasi ialah mempertanyakan perlunya adanya batasan pinjaman.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 77/POJK.01/2016 tentang pinjaman uang berbasis teknologi finansial pada pasar 6 diatur batas maksimal pemberian pinjaman dana.
Dalam beleid ini, batas maksimum total pemberian pinjaman dana oleh fintech peer to peer lending sebesar Rp 2 miliar. Peminjam boleh meminjam kembali selama pinjaman sebelumnya sudah dilunaskan.
Baca Juga: Tiga asosiasi fintech bakal membuat kode etik bersama
“Regulasi ini kan sudah dibentuk di 2016 lalu, sekarang sudah tiga tahun. Memang beberapa poin yang kita tentukan di 2016, harus kita tinjau ulang kembali mana yang masih relevan dan mana yang harus disesuaikan dengan industri. Pendekatan dari kita apakah masih dibutuhkan limit?” ujar Adrian di Jakarta pada Kamis (22/8).
Namun keputusan akhirnya apakah masih ada limit atau tidak tergantung dari kebijakan OJK. Adrian mencontohkan di beberapa negara ada juga yang tidak membatasi jumlah pinjaman peer to peer lending. Dimana, limit ditentukan oleh masing-masing pelaku peer to peer lending.
“Namun beberapa negara juga ada yang dibatasi. Misalnya, POJK 37 tentang equitycrowd funding itu batasnya Rp 10 miliar. Namun keputusannya ada di OJK, bila ada limit bisa pakai benchmark equitycrowd funding. Final rekomendasi dari AFPI-nya akhir bulan ini kita sampaikan,” tambah Adrian.
Baca Juga: lndonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) bidik 50.000 pengunjung
Bila regulator mengabulkan keinginan pemain fintech terkait batas limit pinjaman, maka risiko yang akan ditanggung oleh pemberi pinjaman atau lender akan semakin besar. Seiring dengan semakin besar pinjaman yang akan dilontarkan kepada peminjam atau borrower.
Wakil Kepala Eksekutif Fintech P2P Lending Pendanaan Multiguna AFPI Wisely Wijaya bilang limit pinjaman akan lebih banyak berpengaruh kepada pemain yang menggarap sektor produktif. Lantaran secara nominal, pinjaman ke sektor ini lebih besar dan lama.
PT Mediator Komunitas Indonesia atau Crowde sudah menyiapkan strategi untuk mitigasi risiko. Chief Operational Officer Crowdo Nur Fitri menyatakan hal pertama yang dilakukan adalah meningkatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk menganalisa calon peminjam.
Baca Juga: Permintaan lesu, penyaluran kredit multiguna perbankan menciut
"Langkah yang juga disarankan oleh asosiasi adalah bekerja sama dengan asuransi untuk pinjaman. Kalau terjadi gagal bayar, bisa ditanggung oleh asuransi besarannya balik lagi ke perjanjian dengan perusahaan asuransi. Semua informasi itu diberitahukan kepada lender, sebab lender yang akan memutuskan untuk meminjamkan atau tidak," jelas Nur kepada Kontan.co.id.
Tak sampai situ, Crowdo juga membawa borrower ke notaris untuk membuat akta fidusia terkait pinjamannya. Ia mengaku kemungkinan keterlambatan bayar masih ada, lantaran sektor produktif mengandalkan kinerja usaha. Namun Ia optimis hal ini akan menekan gagal bayar.
Merujuk data OJK per Juni 2019, akumulasi realisasi pinjaman yang telah disalurkan oleh fintech lending sebesar Rp 44,8 triliun hingga paruh pertama 2019. Nilai ini tumbuh 97,68% year to date (ytd) dari posisi akhir Desember 2018 sebesar Rp 22,66 triliun.
Baca Juga: Fintech dapat menjadi Lembaga linkage dalam penyaluran KUR
Sedangkan tingkat pinjaman macet di atas 90 hari pada Juni 2019 pada level 1,75%. Naik dari posisi Desember 2018 di level 1,45%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News