Reporter: Ferry Saputra | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa penyelenggara pinjaman daring (pindar) atau fintech peer to peer (P2P) lending tidak pernah melakukan kesepakatan untuk menentukan batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga pinjaman. Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah menuturkan kronologi bunga pinjaman ditetapkan menjadi 0,8% pada 2018.
Kuseryansyah mengatakan pada 2018, kehadiran pinjaman online (pinjol) ilegal yang mematok bunga tinggi sangat meresahkan masyarakat dan menjadi perhatian serius bagi para penyelenggara fintech lending saat itu. Guna memastikan masyarakat tidak terjebak dengan platform ilegal dan praktik predatory lending, berikutnya ada penentuan batas bunga.
"Hal tersebut sejalan dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saat itu. Langkah tersebut juga merupakan bentuk perlindungan konsumen,” ujarnya saat konferensi pers usai sidang perdana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
Kuseryansyah menerangkan bunga yang diatur sebesar 0,8% pada 2018, kemudian diturunkan menjadi 0,4% pada 2021.
Lebih lanjut, Kuseryansyah juga menjelaskan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga merupakanceilin g price (suku bunga maksimum), bukan fixed price (suku bunga tetap). Artinya, dia bilang setiap penyelenggara bebas menentukan tingkat suku bunga, selama tidak melewati batas maksimum yang ditentukan tersebut.
Baca Juga: AFPI Sudah Bertemu KPPU Bahas Dugaan Kartel Bunga Pinjol
Melalui mekanisme itu, Kuseryansyah menilai persaingan antarpenyelenggara fintech lending tetap berjalan. Dengan lebih dari 100 penyelenggara yang tergabung dalam AFPI saat itu, dia menyebut peminjam atau borrower tetap memiliki banyak pilihan, karena setiap penyelenggara menawarkan skema dan layanan yang berbeda.
"Hal tersebut mencerminkan dinamika pasar yang kompetitif,” ungkapnya.
Terkait dugaan kesepakatan menentukan manfaat ekonomi atau bunga yang dipermasalahkan KPPU, Kuseryansyah menyampaikan AFPI menghormati seluruh proses persidangan yang berlangsung. Selain itu, dia mengimbau para penyelenggara menyampaikan bukti-bukti di persidangan untuk menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan dalam menentukan besaran bunga antarpenyelenggara.
“Kami percaya proses hukum saat ini dapat menjadi kesempatan untuk menegaskan tidak ada niat jahat dalam pengaturan batas maksimum bunga oleh AFPI,” kata Kuseryansyah.
AFPI juga menyatakan komitmennya untuk terus mendukung regulasi yang melindungi konsumen, sekaligus mendorong inovasi dan pertumbuhan industri fintech lending di Indonesia.
Sebagai informasi, KPPU resmi menggelar sidang perdana kasus dugaan kartel bunga di industri pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending pada Kamis (14/8/2025).
Baca Juga: AFPI akan Siapkan Bukti untuk Persidangan Dugaan Kartel Bunga Pinjol
Dalam sidang perdana tersebut, tercatat agendanya berupa pemaparan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh investigator. Adapun KPPU memanggil total 97 terlapor yang merupakan penyelenggara fintech lending, tetapi yang tercatat hadir di sidang perdana tersebut hanya sebanyak 92 terlapor.
Dalam sidang tersebut, Investigator KPPU Arnold Sihombing menyebut bahwa Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) terkait perkara Pasal 5 di UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan bersama penyelenggara fintech lending soal penetapan bunga, telah dikirimkan kepada para terlapor beserta surat panggilan.
"Adapun dugaan pelanggaran yang disertakan adalah Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama," ungkapnya saat membacakan LDP di sidang KPPU, Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
Arnold menerangkan saat proses penyelidikan dan penyidikan yang dimulai pada 4 Oktober 2023 sampai 11 Maret 2025, KPPU menemukan beberapa unsur dugaan pelanggaran yang berlandaskan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Salah satunya adanya temuan bahwa penyelenggara yang tergabung dalam AFPI melakukan pengaturan kesepakatan bunga pinjaman.
Baca Juga: KPPU Duga Ada Kartel Bunga Pinjol, Begini Respons AFPI
Berdasarkan uraian dugaan pelanggaran saat persidangan, Arnold menyampaikan bahwa tim investigator menyimpulkan telah terdapat cukup bukti terjadinya pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan terlapor (penyelenggara fintech lending yang tergabung dalam AFPI). Dia juga menyampaikan bahwa paparan dalam agenda tersebut hanya gambaran terkait substansi perkara sesuai dengan isi dalam LDP.
Seusai pemaparan LDP, Rhido selaku Ketua Majelis Komisi menyampaikan bahwa majelis bersepakat agar agenda pembacaan LDP dilanjutkan pada sidang berikutnya atau ditunda. Mengingat, masih ada 5 terlapor yang tak hadir dan belum diketahui alamat pastinya untuk diberikan LDP, sehingga diberikan kesempatan pada sidang berikutnya.
"Terlapor yang tidak jelas alamatnya dan tidak konfirmasi, kami akan beri kesempatan untuk sidang berikutnya, sehingga kami bisa menyampaikan LDP kepada mereka. Jadi, sidang tetap berlanjut dan sesuai dengan agenda," kata Rhido.
Ridho kemudian menutup sidang perkara dugaan kartel bunga pinjol dan memutuskan ditunda untuk dilanjutkan kembali pada sidang Majelis Komisi berikutnya yang akan digelar pada 26 Agustus 2025 di ruang sidang KPPU Jakarta. Adapun agenda sidang berikutnya adalah penyampaian laporan dugaan pelanggaran bagi terlapor yang tidak hadir dan pemeriksaan alat bukti.
Baca Juga: AFPI: Isu Dugaan Kartel Bunga Pinjol Bisa Berdampak terhadap Lender Luar Negeri
Selanjutnya: Gyokeres Siap Buktikan Diri, Ian Wright Singgung Peran Arteta
Menarik Dibaca: Gyokeres Siap Buktikan Diri, Ian Wright Singgung Peran Arteta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News