kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

ASPI kaji pengenaan komisi uang elektronik


Minggu, 28 Mei 2017 / 16:54 WIB
ASPI kaji pengenaan komisi uang elektronik


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Uang elektronik saat ini banyak digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai sarana pembayaran di moda transportasi seperti TransJakarta, Commuter Line, pembayaran tol dan parkir serta sektor ritel lain. Namun, sampai saat ini, bank penerbit uang elektronik tidak mendapat biaya admistrasi dari transaksi tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) mengatakan saat ini tengah mengkaji dengan pihak Bank Indonesia (BI) terkait pengenaan biaya administrasi atau fee pada uang elektronik.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) salah satu penerbit uang elektronik hingga kini masih merumuskan perubahan skema bisnis tersebut. "Sampai saat ini masih terjadi proses diskusi karena ada aspek issuing dan aquiring di dalamnya," ujar Direktur BCA, Santoso Liem kepada KONTAN, Minggu (28/5).

Pembahasan tersebut karena belum adanya regulasi yang mengatur tentang biaya atau komisi dari kartu tersebut. Jika diterapkan, nantinya akan ada penyesuaian mengenai penggunaan fasilitas tersebut.

Pasalnya saat ini, sistem pembayaran di Indonesia sedang diarahkan ke National Payment Gateway (NPG). Dalam ketentuan NPG, juga masuk tentang uang elektronik berbasis kartu. Namun, peraturan tersebut belum membahas mengenai biaya yang akan dikenakan atas penggunaan uang elektronik tersebut.

"Saat ini ketentuan hanya mengatur tentang biaya kartu dan top up (isi ulang) kartu melalui pihak ketiga, dan jika top up di bank penerbit sampai saat ini belum diperkenankan menarik dana dari customer," tambah Santoso. Artinya, dalam bisnis uang elektronik, bank hanya menarik keuntungan dari penjualan kartu serta top up di bank lain, sementara untuk transaksi masih belum dikenakan biaya.

Meski begitu, Wakil Ketua ASPI, Rico Ustahivia Frans mengatakan, baik pihak regulator, asosiasi maupun pelaku usaha saat ini tengah mencari model bisnis yang baik dan efisien agar produk uang elektronik dapat berkembang.

Tidak hanya mengenai pengenaan fee, salah satu inisiatif yang dilakukan dalam konteks NPG antara lain mengenai konsep kerja sama infrastruktur antara bank penerbit uang elektronik. "Nantinya bank-bank yang mengeluarkan produk uang elektronik bisa pakai infrastruktur yang ada tanpa investasi ulang, hanya perlu berbagi biaya saja," ujar Rico.

Senada, Senior Executive Vice President Teknologi Informasi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Dadang Setiabudi mengatakan dengan konsep tersebut nantinya bank dituntut untuk lebih aktif memaksimalkan fasilitas penunjang elektronik. 

"Dengan demikian siapa yang melakukan investasi di alat pembaca (reader), mereka yang akan mendapat revenue," imbuh Dadang. Hingga kini, mengenai pembahasan pengenaan biaya transaksi, pihak bank penerbit uang elektronik masih menunggu kebijakan pemerintah, sehingga belum dapat dipastikan kapan ketentuan pengenaan fee tersebut.

Sebagai informasi saja, mengutip data statistik sistem pembayaran uang elektronik BI, jumlah uang elektronik beredar per April 2017 tercatat 57,76 juta lebih tinggi dibandingkan periode Desember 2016 51,2 juta. Sedangkan untuk volume transaksi hingga April 2017 mencapai 235,61 juta transaksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×