Reporter: Ferry Saputra | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meresmikan program dukungan asuransi sebagai upaya memperkuat ekosistem dan memitigasi risiko dalam industri fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar).
Adapun dukungan yang disediakan merupakan produk asuransi kredit. Tentu kebijakan itu menjadi babak baru bagi industri fintech lending.
Mengenai hal itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan program asuransi kredit untuk fintech lending tidak bersifat mandatory. Ogi menambahkan premi asuransi harus menjadi bagian dari biaya manfaat ekonomi finetch lending, dengan jangka waktu pertanggungan kurang lebih 12 bulan.
"Dengan demikian, dukungan asuransi diharapkan dapat memperkuat keberadaan fintech lending sebagai salah satu alternatif pendanaan bagi masyarakat yang nonbankable, dengan tetap memperhatikan aspek pelindungan bagi lender," ucap Ogi saat acara Peluncuran Program Dukungan Asuransi Dalam Penguatan Ekosistem Penyelenggaraan LPBBTI di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Baca Juga: OJK: POJK Terkait Penyelenggaraan Paylater akan Terbit pada 2025
Ogi juga menegaskan bahwa penyelenggara fintech lending harus menerapkan kebijakan evaluasi pertanggungan secara berkala yang lebih adil bagi seluruh pihak yang terikat dalam perjanjian.
Dia bilang, kenaikan premi pertanggungan juga hanya dapat dilakukan pada saat renewal atau perpanjangan, dan tidak dilakukan ketika pertanggungan masih berjalan.
Lebih lanjut, Ogi tak memungkiri bahwa penyelenggaraan asuransi kepada fintech lending memiliki tingkat risiko yang tinggi. Namun, dia bilang OJK meyakini dengan pelaksanaan asuransi yang sehat, didukung oleh manajemen risiko yang efektif, serta berpedoman pada ketentuan regulasi yang berlaku, penyelenggaraan produk asuransi kredit dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi industri asuransi maupun industri fintech lending.
“Beberapa aspek regulasi dan mitigasi risiko yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan produk asuransi kredit untuk industri pindar, antara lain mencakup pembebanan premi kepada pihak yang menghadapi risiko, menerapkan ketentuan mengenai pembagian risiko (risk sharing), penggunaan sistem informasi yang handal, penilaian tingkat risiko yang komprehensif, serta analisis klaim yang akurat,” katanya.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Agusman menyampaikan bahwa pada tahap awal, asuransi kredit tersebut ditujukan bagi lender institusi dan akan terus dikembangkan.
"Dengan demikian, diharapkan dapat mencakup seluruh lender, termasuk lender ritel, ke depannya," tuturnya.
Agusman mengatakan bahwa program dukungan asuransi bagi industri fintech lending memiliki manfaat penting bagi keberlanjutan industri fintech lending dalam memitigasi risiko. Dengan adanya asuransi, dia menilai industri fintech lending akan bertumbuh dengan baik dan diharapkan bisa menyelesaikan berbagai isu yang masih dihadapi.
Baca Juga: Lampaui Capaian 2024, Laba Fintech Lending Tembus Rp 2,09 Triliun per Oktober 2025
Merespons program itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai program tersebut sebagai langkah awal yang penting dalam memperkuat tata kelola dan manajemen risiko pada ekosistem pembiayaan digital. Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan bagi industri asuransi umum, inisiatif tersebut membuka peluang pasar yang baru dan terukur, khususnya dari segmen lender institusi, sekaligus mendorong peran asuransi sebagai mekanisme perlindungan risiko kredit.
"Namun, pengembangannya tetap perlu dilakukan secara bertahap dan prudent agar selaras dengan kapasitas industri dan profil risiko yang ada," ujarnya kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).
Terkait premi dan skema yang akan berlaku, Budi menjelaskan pada prinsipnya besaran premi akan sangat bergantung pada profil risiko portofolio pembiayaan, kualitas manajemen risiko fintech lending, tenor pertanggungan yang saat ini sekitar 12 bulan, serta struktur kerja sama yang disepakati.
"Premi asuransi menjadi bagian dari biaya manfaat ekonomi dalam skema fintech lending, sehingga penetapannya perlu dilakukan secara hati-hati agar tetap memberikan perlindungan yang memadai tanpa menimbulkan beban berlebih bagi ekosistem," ungkapnya.
Meskipun sifatnya belum wajib, AAUI melihat potensi permintaan tetap ada, terutama dari lender institusi yang memiliki kebutuhan kuat terhadap kepastian perlindungan dan pengelolaan risiko gagal bayar.
Dari sisi industri asuransi umum, minat untuk berpartisipasi sudah mulai terlihat, antara lain melalui pembentukan konsorsium yang melibatkan beberapa perusahaan asuransi dengan kapasitas permodalan dan likuiditas yang memadai.
"Sejauh ini ada lima perusahaan asuransi umum yang sudah bergabung dalam konsorsium asuransi kredit untuk P2P lending," tuturnya.
Baca Juga: Ini 5 Sektor Ekonomi dengan Penyaluran Pembiayaan Terbesar di Industri Multifinance
Ke depan, Budi mengatakan tingkat adopsi penggunaan asuransi kredit di fintech lending akan sangat dipengaruhi oleh hasil evaluasi tahap awal, kinerja klaim, serta kejelasan tata kelola dan data dari penyelenggara fintech lending.
Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan kebijakan OJK itu merupakan langkah yang bagus guna memperkuat perlindungan dari sisi lender.
"Asuransi khusus pinjaman daring disediakan kepada lender untuk pengamanan investasi mereka di pindar. Artinya, asuransinya bukan di sisi borrower, tetapi berada di lender," ungkapnya kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).
Nailul menuturkan ketika lender ditawarkan asuransi, tentu akan ada premi yang dibayarkan. Oleh karena itu, dia bilang perlu kehati-hatian untuk melihat harga premi tersebut terlampau tinggi atau tidak. Dia bilang jangan sampai harga premi untuk asuransi itu terlampau tinggi, sehingga berpotensi menurunkan minat lender mendanai fintech lending.
Di sisi lain, lender juga perlu mengingat bahwa industri fintech lending merupakan industri berisiko tinggi. Nailul menerangkan jika dinaikkan manfaat ekonomi yang diperoleh lender untuk membayar premi, tentu akan membuat bunga pinjaman borrower menjadi meningkat.
"Jadi, memang ada minus di sisi biaya, meskipun secara keamanan lender akan lebih terjaga ketika ada gagal bayar dari borrower. Borrower juga masih mempunyai kewajiban untuk melunasi utangnya," kata Nailul.
Baca Juga: Pembiayaan Fintech P2P Lending Syariah Tumbuh Signifikan 38,15% per Oktober 2025
Selain itu, Nailul beranggapan harus ada juga antisipasi moral hazard yang dilakukan oleh borrower ketika ada asuransi. Ketika borrower tahu bahwa dananya atau pinjaman diasuransikan, bisa saja mereka melakukan moral hazard karena beranggapan uang lender ditanggung asuransi.
"Oleh karena itu, proses asuransi harus diminimalkan informasinya bagi borrower. Dengan demikian, hanya lender yang tetap akan menjadi aktor utama pendanaannya diasuransikan atau tidak," ucap Nailul.
Nailul juga menyoroti kebijakan itu tidak mandatory atau tidak wajib, sehingga lender diberikan pilihan akan membeli asuransi atau tidak. Dengan demikian, dia bilang lender akan mendapatkan pilihan yang cukup seimbang untuk ikut asuransi atau tidak dengan berbagai pertimbangan, seperti biaya, moral hazard, dan sebagainya.
"Saya rasa itu cukup fair bagi lender," ungkap Nailul.
Selanjutnya: Apple Buka iPhone untuk App Store Alternatif di Jepang
Menarik Dibaca: Rekomendasi HP Flagship Terbaik yang Cocok untuk Semua Aktivitas, Cek di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













