Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pencadangan bank kian menyusut pada tahun 2022, hal ini seiring dengan laba bersih yang semakin menebal hingga akhir tahun 2022. Walau begitu, perbankan akan tetap memperkuat pencadangan di tahun 2023. Langkah tersebut salah satunya untuk mengantisipasi kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2023.
PT Bank Tabungan Negara atau BTN misalnya, yang di tahun ini akan menjaga tren pencadangan sama seperti tahun 2022. Direktur Risk Management and Transformation BTN, Setiyo Wibowo menyatakan, biaya provisi bank pada akhir tahun 2022 lalu mencapai Rp 3,3 triliun.
"Di tahun ini trennya akan dijaga sama seperti tahun 2022, karena tahun ini akan berakhirnya program restrukturisasi covid, oleh karena itu perseroan akan mengalokasikan pencadangan yang cukup untuk mengantisipasi pemburukan kolektabilitas dari nasabah ex restrukturisasi covid," jelas Setiyo kepada kontan.co.id, Selasa (14/2).
Di samping itu, perseroan juga akan menjaga coverage cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) lebih tinggi menjadi 160% terhadap nilai kredit bermasalah atau non performing loan, dari 2022 yang mencapai 150%. Dengan pencadangan yang makin tinggi, bank lebih siap menghadapi kondisi ekonomi yang memburuk.
Baca Juga: Mengurai Teka-Teki Bank Merger yang Masih Misteri Hingga Kini
"Kami mengantisipasi risiko NPL. Jadi kami ada strategi untuk soft landing," ujarnya.
Di tahun lalu, BTN menjaga NPL gross di kisaran 3,3% melalui restrukturisasi kredit covid-19. Di tahun ini,Setiyo menargetkan rasio NPL bisa dijaga di bawah 3%.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk juga mencatatkan biaya provisi atau CKPN mengalami penurunan 17,50% menjadi 16,12 triliun pada tahun lalu. Hal ini membuat NPL ikut turun 93 basis poin (bps) secara tahunan menjadi 1,88% pada tahun lalu.
Penurunan pencadangan sejalan dengan pertumbuhan laba bersih 46,89% secara year on year (YoY) menjadi Rp 41,17 triliun pada 2022.
Kendati demikian, Bank Mandiri juga telah melakukan pengelolaan portofolio kredit untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas, termasuk dengan menyediakan pencadangan yang mencukupi. Sehingga meski NPL relatif menurun, perseroan tetap melakukan peningkatan rasio pencadangan atau NPL coverage ratio mencapai sebesar 311%.
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Sigit Prastowo menyatakan, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 pun konsisten menunjukkan tren yang melandai seiring dengan momentum pertumbuhan ekonomi.
Sampai dengan akhir Desember 2022 total restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 (bank only) di Bank Mandiri yaitu sebesar Rp 35,9 triliun, posisi ini bahkan sudah jauh menurun dibandingkan kondisi akhir tahun 2021 yang mencapai Rp 69,7 triliun.
"Sebagai langkah antisipasi potensi penurunan kualitas kredit, kami terus menjaga pembentukan pencadangan. Per akhir Desember 2022, Bank Mandiri telah membukukan biaya CKPN secara bank only sebesar Rp 10,3 triliun dengan rasio NPL coverage berada di level yang memadai," katanya.
Baca Juga: Generali Gandeng Bank Victoria Hadirkan Proteksi Jiwa dan Penyakit Kritis
Bank Mandiri menargetkan kredit di 2023 bisa tumbuh 10% hingga 12% dengan menjaga NPL di bawah 2%. Ini seiring semakin perbaikan kredit berisiko tinggi alias loan at risk (LAR) yang terus turun dari puncaknya di 17,75% menjadi 12,1% pada akhir 2022.
Adapun PT Bank Central Asia atau BCA mencatatkan penurunan biaya provisi sebesar 51,5% pada 2022 menjadi Rp 4,52 triliun dari tahun 2021 yang mencapai Rp 9,32 triliun.
Hal ini sejalan dengan kenaikan laba bersih secara konsolidasi sebesar 29,6% YoY mencapai Rp 40,7 triliun di tahun 2022. Kinerja laba ini ditopang oleh pendapatan bunga bersih yang meningkat 13,6% menjadi Rp 64,14 triliun seiring dengan pertumbuhan kredit 11,7% menjadi Rp 711,26 triliun.
Diikuti kenaikan pendapatan non bunga 5,8% menjadi Rp 22,67 triliun. Seiring dengan itu, BCA juga memangkas pencadangan 51,5% menjadi Rp 4,52 triliun. Meskipun NPL BCA berhasil ditekan hingga ke posisi 1,7% pada tahun lalu.
Sementara PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) mencatatkan penyusutan biaya provisi sebesar 31,3% pada 2022 menjadi Rp 26,97 triliun dari tahun 2021 yang mencapai Rp 39,29 triliun. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan laba bersih yang melesat 67% menjadi Rp 51,4 triliun pada 2022.
Walau begitu, Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, BRI akan tetap memperkuat pencadangan atau NPL coverage untuk menjaga kualitas kredit dalam memitigasi risiko menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan potensi perlambatan ekonomi.
"Pencadangan yang lebih dari sekedar memadai ini merupakan langkah antisipatif dan upaya memitigasi risiko menghadapi ketidakpastian ekonomi global, kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, serta potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi," kata Sunarso.
BRI pun menyiapkan pencadangan terhadap NPL sebesar 305,73%, meningkat dibandingkan dengan tahun 2021 sebesar 281,16%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News