Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Para bankir kakap meminta regulator untuk memberikan stimulus. Kali ini, sejumlah bank besar meminta Bank Indonesia (BI) untuk kembali melonggarkan rasio giro wajib minimum (GWM) primer rupiah. Alasannya, para bankir besar mengejar target pertumbuhan kredit di akhir tahun.
Agar leluasa menyalurkan kredit, bank membutuhkan tambahan likuiditas. “Perlu ada pelonggaran GWM primer menjadi 5%,” kata Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Senin (19/9).
Wajar saja jika BRI membutuhkan amunisi tambahan. Pasalnya, di tengah musim perlambatan kredit, BRI berhasil membukukan pertumbuhan tinggi. Di segmen kredit mikro, BRI mencetak pertumbuhan sebesar 22% per Agustus 2016 ketimbang tahun lalu.
Secara keseluruhan, penyaluran kredit bank penguasa pasar mikro ini tumbuh 17% per Agustus 2016. “Kalau likuiditas terbatas, nanti akan ada kompetisi. Kalau tidak, menaikkan bunga akan kalah,” terang Haru.
Sependapat, Panji Irawan, Direktur Treasury PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) menyampaikan, pelonggaran lanjutan GWM rupiah akan membuat pasar lebih likuid.
“Pelonggaran rasio GWM primer sekitar 50 basis poin (bps) atau 100 bps lagi sudah cukup bagi perbankan,” ujar Panji.
BNI memerlukan pelonggaran GWM primer karena BNI membidik pertumbuhan kredit sebesar 15%-17% di tahun ini dengan sektor kredit infrastruktur yang menjadi tumpuan kredit. Tapi, tidak seluruh bank meminta pelonggaran.
Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP bilang, likuiditas belum menjadi isu utama bagi perbankan karena kondisi bisnis dan makro yang belum menunjang sehingga pelonggaran GWM tidak serta merta mendorong pertumbuhan kredit.
Saat ini, rasio likuiditas (LDR) OCBC NISP pun masih di bawah 90%. Sedangkan target pertumbuhan kredit berkisar 10%-15%. Catatan saja, BI menurunkan GWM rupiah dari 7,5% menjadi 6,5% pada Maret 2016 setelah turun dari 8,0% menjadi 7,5% di Desember 2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News