kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.478.000   -4.000   -0,27%
  • USD/IDR 15.685   -195,00   -1,26%
  • IDX 7.504   8,04   0,11%
  • KOMPAS100 1.166   4,61   0,40%
  • LQ45 927   -2,36   -0,25%
  • ISSI 227   1,87   0,83%
  • IDX30 478   -1,88   -0,39%
  • IDXHIDIV20 574   -2,08   -0,36%
  • IDX80 133   0,26   0,20%
  • IDXV30 142   0,64   0,46%
  • IDXQ30 160   -0,33   -0,20%

Bank dari Indonesia kian sulit di Singapura


Senin, 23 Juli 2012 / 08:10 WIB
Bank dari Indonesia kian sulit di Singapura


Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Otoritas Moneter Singapura (MAS) meluncurkan aturan baru bagi bank asing di negara itu. Poin terpenting, bank yang memiliki layanan penuh, termasuk layanan bagi nasabah ritel atau berstatus qualifying full bank (QFB), wajib berbadan hukum Singapura. QFB juga harus memiliki modal sekitar Rp 11,25 triliun (Harian KONTAN, 21 Juli 2012).

Ada tiga bank dari Indonesia yang beroperasi di Singapura, yakni Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank Central Asia (BCA). Ketiganya belum berstatus QFB. Dus, beleid tersebut bakal menambah terjal jalan menuju QFB.

Abdullah Firman Wibowo, Manajer Internasional BNI, menjelaskan, bagi bank asing berstatus QFB, aturan ini menguntungkan. Bank bisa beroperasi penuh, bisa menambah 30 cabang dan menjual lebih banyak produk.

Namun di sisi lain ada pengetatan syarat. Selain harus menambah modal, bank berstatus QFB terkena aturan transfer laba ke negara asal. Mereka juga tak sembarangan mendapuk direksi. Calon direksi harus bekerja di Singapura minimal 5 tahun.

Di Singapura ada lima kriteria bank, yang tertinggi QFB. Di bawahnya full branch, limited purpose branch, representative office dan agency banking. "Kami tak bisa menambah cabang akibat aturan ini," kata Firman, Minggu (22/7).

Saat ini BNI memiliki dua kantor di Singapura, berstatus full branch dan remittance centre. BNI belum berencana menaikkan status menjadi QFB.

Pertimbangannya, pengawasan makin ketat dan pembagian keuntungan ke pusat tidak signifikan. "Tidak sesuai rencana kami," katanya.
Firman mengakui, potensi dana pihak ketiga di Singapura sangat besar. Dari total 5 juta-6 juta penduduk, 200.000 - 300.000 adalah penduduk

Indonesia. Misalnya, ada 100.000 pekerja Indonesia memiliki pendapatan Rp 20 juta per bulan, ada potensi lebih dari Rp 2 triliun per bulan, belum termasuk dari transaksi lain, seperti remitansi.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Ritel dan Mikro Bank Mandiri, menilai ketentuan modal Rp 11,25 triliun terlalu berat. Bank asing yang baru berencana masuk ke Singapura, mustahil meraih laba dan return on asset secara normal.

Menurutnya, MAS mempersulit bank asing dan memproteksi bank lokal. Atas dasar itu, ia mengingatkan perlunya kesetaraan kebijakan MAS dengan Bank Indonesia (BI). Misalnya, bank milik asing yang ingin membuka 50 cabang, harus memiliki modal minimal Rp 50 triliun.

Budi berharap, BI tak mudah memberi izin akuisisi bank, penambahan cabang, jaringan ATM dan produk bank asal Singapura, sampai kondisi resiprokal setara. "Pembatasan itu berpengaruh bagi kami," kata Budi.

Dalam membatasi asing, BI seharusnya belajar dari MAS. Mereka cepat menyusun regulasi, berani bersikap dan cuek pada tekanan investor.

Singapura juga ingin menjadikan perbankan mereka tuan rumah di negeri sendiri. "Pemerintah ingin tiga bank lokal Singapura memiliki setengah deposito penduduk dan menjadi anchor bank yang kuat," kata Chairman MAS, Tharman Shanmugaratnam, di www.asiaone.com.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×