kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bankir mengkritik indikator efisiensi BI


Rabu, 09 Januari 2013 / 08:56 WIB
Bankir mengkritik indikator efisiensi BI
ILUSTRASI. Jangan sampai gagal daftar Gelombang 21 Prakerja, ini ketentuan unggah KTP. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Roy Franedya |

JAKARTA. Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan aturan kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.  Inti dari aturan ini BI menjadikan efisiensi sebagai salah satu pertimbangan dalam memberikan izin bagi bank untuk ekspansi cabang.

Yang menarik, dalam aturan itu, BI menjadikan net operating margin (NOM) sebagai indikator tambahan perhitungan tingkat efisiensi. Padahal, selama ini, BI hanya menggunakan marjin bunga bersih atau net interest margin (NIM) dan Beban Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO) sebagai indikator efisiensi.

Inilah yang kini menjadi topik hot bagi para bankir. Mereka mengaku belum mengetahui dan belum memperhitungkan NOM sebagai indikator efisiensi.  "Perhitungannya mungkin hampir sama dengan NIM, yang berbedanya hanya pada pembilang saja yang menggunakan pendapatan bunga bersih dan laba operasional," tandas Direktur Utama Bank Ina Perdana, Eddy Guntarjo.

Menurutbya, ukuran efisiensi yang paling cocok di perbankan Indonesia adalah BOPO. Alasannya biaya-biaya perbankan masih cukup fluktuatif dan pos-pos pada laporan laba/rugi terkadang definisinya masih bias.

Presiden Direktur Bank Central Asia  (BCA), Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan hingga kini BCA belum menjadikan NOM sebagai indikator pengukuran efisiensi karena belum tahu metode perhitungannya.

Jahja hanya mengingatkan, dalam menghitung efisiensi, BI juga harus mempertimbangkan antara bank yang masih bertumbuh dengan cara menambah cabang dengan bank yang sudah tidak bertumbuh lagi.

Menurut dia, bank yang masih bertumbuh mengeluarkan biaya atau belanja modal cukup besar. Hasilnya baru terlihat 18 bulan hingga 2 tahun kemudian. "Hal ini penting dipertimbangkan agar bank domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Jahja.

NIM Indonesia masih tinggi

Penggunaan indikator BOPO dan NIM merupakan salah satu cara BI mendorong efisiensi di perbankan. Pasalnya, dengan BOPO dan NIM saat ini, perbankan Indonesia tidak bisa bersaingan dengan perbankan di kawasan ASEAN. Sebagai pembanding, NIM bank di Indonesia rata-rata 5,5% - 6%. Bandingkan dengan Filipina yang sudah di bawah 3%.

BI merasa perlu memaksakan kondisi ini agar bank nasional siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2020 mendatang.

Dalam aturan ini BI mematok NIM dan BOPO bank berdasarkan kelompok kegiatan usaha (BUKU). NIM maksimal dipatok 5,5% dan BOPO minimal 70%. BI memberikan pengecualian bagi bank yang kredit UMKM nya tinggi.

Sebelumnya, bankir pernah mempertanyakan keputusan BI menggunakan BOPO sebagai indikator efisiensi. Menurut mereka indikator yang paling cocok adalah cost to income ratio (CIR). Bila menggunakan ukuran ini, perbankan memiliki tingkat efisiensi yang tidak jauh berbeda dengan bank di ASEAN.

Namun, BI bergeming. BI menganggap BOPO ukuran yang cocok karena mengandung biaya pencadangan.    n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×