kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peluang di balik dua beleid baru


Rabu, 28 November 2012 / 13:09 WIB
ILUSTRASI. Contoh kamar tidur remaja dengan loft bed atau tempat tidur tingkat. Foto:?matrixkids.com


Reporter: Arief Ardiansyah, Andri Indradie, Roy Franedya, Dian Pitaloka Saraswati, Raymond Reynaldi | Editor: Imanuel Alexander

Selain aturan mengenai kepemilikan tunggal saham bank, para bankir juga menanti aturan Bank Indonesia tentang trustee bank. Fungsi ini terbilang baru di perbankan Indonesia. Lewat kebijakan ini, BI memberikan keleluasaan kepada bank untuk mengelola dana valas milik perusahaan yang beroperasi di Tanah Air, baik lokal maupun asing.

Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, menjelaskan, ini kelanjutan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE). "Sebagai pelaksanaan pilar kedua Arsitektur Perbankan Indonesia yang mengatur jenis usaha yang dapat dilakukan bank," katanya.

Potensi pengelolaan dana hasil ekspor ini bisa tergambar dari realisasi dana DHE yang masuk melalui Bank Negara Indonesia (BNI). Abdullah Firman Wibowo, Kepala Divisi Internasional BNI bilang, DHE dari sekitar 800 perusahaan yang mengalir melalui BNI cukup deras. Per Oktober lalu, nilainya mencapai US$ 22,1 miliar. Ini terdiri dari US$ 1,7 miliar dalam bentuk transaksi berbasis letter of credit (L/C), dan corporate remittance US$ 20,4 miliar. "Jadi perkembangannya positif. Kami juga optimistis dapat mencapai target DHE tahun ini US$ 25 miliar,” katanya.

Melalui aturan lisensi berjenjang, BI juga akan menantang bankir agar menggenjot modal dan semakin memperbaiki kinerja keuangan. Menurut Halim, kebijakan ini merupakan pelaksanaan pilar pertama API, sekaligus kelanjutan kebijakan struktur kepemilikan bank agar perbankan memiliki permodalan yang kuat. BI juga berusaha menciptakan persaingan yang adil dan sehat di antara bank-bank, Terakhir, BI juga ingin memperluas distribusi pelayanan perbankan, sehingga tak hanya terkonsentrasi pada beberapa daerah tertentu saja.

Alhasil, daerah yang selama ini tak terjangkau bank dapat memiliki akses layanan perbankan. Bisa jadi daerah-daerah seperti ini justru memiliki potensi yang begitu luas dan besar. "Karena tingkat kompetisi masih rendah, masih jarang bank," ujar Halim.

Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri Group, bilang, BI harus cermat memperhatikan indikator yang menjadi bahan pertimbangan pemberian lisensi berjenjang tersebut. BI perlu melihat beberapa indikator utama, seperti tingkat permodalan, rasio net interest margin (NIM), dan beban operasional terhadap pendapatan operasi (BOPO).

Dia setuju ekspansi bisnis perbankan dikaitkan dengan permodalan. "Kalau satu cabang di kota besar tentu memerlukan modal harian yang kuat. Sementara di daerah underbanked, perlakuan harus berbeda," ujar Destry.

Bank-bank yang ingin masuk ke daerah tersebut bakal memerlukan biaya investasi cukup besar untuk membangun jaringan kantor dan sistem teknologi informasi. Alhasil, rasio BOPO mereka akan tinggi.

Terkait NIM, Destry mengingatkan, pendekatan yang digunakan seharusnya secara relatif, bukan nominal. NIM perbankan nasional memang terlihat tinggi, sekitar 5,5%. Namun, kalau dibandingkan dengan biaya dana yang mencapai 5,5%, sebenarnya besarannya setara. “Lihat saja perbankan di Singapura, biaya dana hanya 0,2%, sementara NIM-nya mencapai 2,8%. Perbandingannya bisa sampai 14 kali lipat," tandas Destry.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 09 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×