Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - Tanggapan beragam datang terkait rencana Bank Indonesia (BI) merelaksasi aturan loan to funding ratio (LFR). Dalam relaksasi ini, kelak obligasi korporasi yang dibeli perbankan dapat diakui sebagai pinjaman, sehingga istilah LFR bisa berubah menjadi financing to funding ratio (FFR).
Bagi bank yang mempunyai likuiditas tipis, aturan ini jelas menguntungkan karena bisa meningkatkan rasio LFR. Namun bagi bank yang masih memiliki likuiditas tinggi, ketentuan tersebut bisa menurunkan rasio LFR mereka.
Seperti diketahui, rentang LFR yang diizinkan regulator perbankan berkisar 80%-92%. Jika kurang dari atau melebihi aturan tersebut, maka bank harus membayar denda dalam nominal tertentu.
Namun BI memberikan pengecualian bagi bank yang tidak memenuhi aturan LFR asalkan memenuhi rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) serta rasio kredit UMKM.
Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai salah satu bank yang mempunyai rasio kredit terhadap simpanan (LDR) 88,93%, menyambut baik aturan ini. Panji Irawan Direktur Treasury dan Internasional BNI mengatakan, sampai akhir tahun 2017, pihaknya berpotensi menambah portofolio surat berharga.
"Untuk obligasi korporasi non-bank yang dibeli BNI berasal dari beragam segmen industri," terang Panji kepada KONTAN, Sabtu (2/9). Sebagian besar surat berharga yang dimiliki BNI saat ini diterbitkan pemerintah.
Jan Hendra, Sekretaris Perusahaan Bank Central Asia (BCA) menyatakan masih akan mempelajari rencana relaksasi likuiditas BI. "Kami perlu meneliti dengan baik sebelum membeli," ujar Jan, Minggu (3/9).
Menurut Jan, saat ini porsi obligasi korporasi yang dimiliki BCA masih di bawah 5% dari total kredit.
Iman Nugroho Soeko, Direktur Keuangan dan Treasury Bank Tabungan Negara (BTN) kepada KONTAN menjelaskan, BTN yang memiliki LDR hingga 111,5% akan lebih berhati-hati terhadap aturan ini. Saat ini BTN telah mengoleksi beberapa obligasi korporasi, semisal obligasi PT Hutama Karya.
Kriteria obligasi
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Juni 2017, obligasi korporasi yang dibeli bank mencapai Rp 544,3 triliun atau naik 1,62%. Saat ini obligasi korporasi berjumlah sekitar 13% dibanding total kredit perbankan.
BI memiliki beberapa pertimbangan sebelum mengeluarkan ketentuan baru mengenai likuiditas ini. Filianingsih Hendarta, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI bilang BI masih mengkaji apa kriteria obligasi yang bisa masuk penghitungan FFR.
"Saat ini dalam pengkajian BI, apakah yang boleh masuk FFR itu yang peringkatnya investment grade (layak investasi) atau semuanya," kata dia, kemarin.
Dia belum bisa menyebutkan nilai pasti obligasi yang dimiliki bank karena masih harus melihat data lebih rinci. Cuma, perkiraan Filianingsih, ada sekitar Rp 136 triliun obligasi korporasi yang ditempatkan di industri perbankan.
Aslan Lubis, Analis Eksekutif Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis Otorias Jasa Keuangan (OJK) menuturkan, kelak penghitungan baru soal likuiditas tersebut akan berpotensi menaikkan LFR perbankan.
"Kami masih menunggu kajian bagaimana efek FFR ini ke likuiditas bank," ujar Aslan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News