Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank digital telah merilis laporan kinerja pada kuartal 1-2022. Meski ada yang mencatat pertumbuhan positif, pergerakan saham bank digital ini masih penuh sentimen negatif.
Bank Neo Commerce (BNC) misalnya, mampu menekan rugi bersih dari Rp 417 miliar menjadi Rp 986 miliar di Maret 2022. Sedangkan aset bank bersandi saham BBYB ini mampu tumbuh melesat 119,3% yoy dari Rp 5,7 triliun menjadi Rp 12,5 triliun
Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan mengatakan, kerugian bersih BNC turun signifikan dari bulan ke bulan di kuartal I 2022. Perbaikan kinerja sejalan dengan peningkatan jumlah nasabah bank digital ini.
Dalam kurun waktu satu tahun sejak aplikasi neobank milik BNC diluncurkan, tercatat lebih dari 16 juta pengguna teregistrasi dengan monthly active user 3 juta perbulan (MAU).
Baca Juga: Jadi Peserta BI Fast, Bank Digital Layani Transfer Antar Bank Bertarif Rp 2.500
Stabilnya jumlah MAU ini sejalan dengan terjadinya peningkatan volume transaksi yang signifikan sebesar 88% menjadi 76 juta transaksi dibandingkan kuartal sebelumnya.
Di tahun 2022 ini BNC secara terus menerus berusaha memenuhi kebutuhan nasabahnya, antara lain di bidang investasi dengan memperkenalkan product wealth management, seperti reksa dana, saham, asuransi, emas, dan produk lainnya,” kata Tjandra.
Adapun Bank Jago (ARTO) mampu membalikkan rugi bersih Rp 38,13 Miliar di Maret 2021 menjadi laba bersih Rp 19 miliar di kuartal 1-2022. Sedangkan Aset mampu naik 39% yoy menjadi 12,82 triliun lantaran kredit naik 376% yoy dari Rp1,29 triliun menjadi Rp 6,14 triliun pada kuartal I-2022.
Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar menyebut pencapaian ini tak terlepas dari strategi utama yang telah dicanangkan sebelumnya, pertumbuhan agresif pada kredit dan pembiayaan syariah ditopang oleh kolaborasi dengan sejumlah fintech lending, multifinance, dan institusi keuangan digital lainnya dalam kerja sama pembiayaan (partnershiplending).
Kolaborasi partnership lending melengkapi integrasi Bank Jago dengan super-app Gojek, aplikasi reksadana online Bibit, dan platform trading online Stockbit. Sampai dengan akhir kuartal I-2022, Bank Jago telah berkolaborasi dengan 32 institusi.
Tak mau kalah, Allo Bank (BBHI) juga mencatat pertumbuhan laba bersih 746,39% yoy dari Rp 8,86 miliar menjadi Rp 75 miliar. Sedangkan aset naik 136,52% yoy dari Rp 3,98 triliun menjadi Rp 9,41 triliun.
Berbeda dengan Bank Aladin (BANK) yang justru mencatatkan laba bersih Rp 1,41 miliar di kuartal 1-2021 malah menjadi rugi bersih Rp 43,98 miliar di kuartal 1-2022. Sedangkan aset naik 6,72% yoy dari 1,22 triliun menjadi Rp 1,3 triliun.
Baca Juga: Sejumlah Bank Jumbo Siapkan Dana untuk Tambah Modal Anak Usaha
Melihat hal ini, Senior Investment Analyst Infovesta Utama Edbert Suryajaya menilai pergerakan saham emiten bank digital tetap akan relatif berat. Mulai dari sentimen sell on may dan kenaikan suku bunga the Fed secara luas memberikan tekanan.
Belum lagi ancaman inflasi tinggi yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan kenaikan suku bunga.
“Biasanya saham-saham yang fundamental baik dan sudah mencetak laba yang biasanya akan memiliki performa yang lebih baik atau value investing, Sementara saham-saham yang termasuk kategori growth investing yakni kondisi sekarang belum tentu baik tapi ekspektasi pertumbuhan ke depannya tinggi akan lebih tertahan,” ujar Edbert kepada Kontan.co.id, Rabu (11/5).
Hal ini karena dalam landscape suku bunga naik, pertumbuhan juga ada potensi terhambat sehingga saham-saham yang sebelumnya naik karena ekspektasi pertumbuhan baik seperti bank digital tersebut juga jadi lebih berat. Kondisi ini akan diperparah bila emiten tersebut masih mencatatkan kerugian.
Baca Juga: Perbankan Masih Pertahankan Suku Bunga Kredit Kendati Dibayangi Keputusan The Fed
Sedangkan bank digital di Indonesia masih ada berada di beberapa fase, ada yang rugi maupun sudah mendulang keuntungan. Sehingga, yang mencatatkan keuntungan harusnya diterima lebih baik oleh investor dibandingkan dengan yang belum
“Intinya, ketika ada ketidakpastian, investor biasanya akan mencoba cari alternatif yang lebih aman dengan memilih emiten yang sudah terbukti. Juga punya fundamental yang solid, kondisi keuangan yang baik, dan kalau bisa valuasi yang masih murah,” paparnya.
Sayangnya bank digital kebanyakan saat ini masih baru di fase awal sehingga laba juga belum stabil. Lanjutnya, sementara valuasi kelompok bank digital ini sudah pada terbang pada saat booming tahun lalu.
Ekonom yang juga pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat harganya emiten bank digital masih kemahalan dan tidak sesuai nilainya. Ia menyebut harga saham apapun termasuk emiten bank digital akan konvergen ke nilainya dalam jangka panjang.
“Lebih baik ke emiten dengan fundamental yang bagus dan lebih teruji. Terutama yang dividen yieldnya tinggi dan price to book value (PBV) serta price earring ratio (PER) masih rendah,” papar Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News