Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya menerbitkan beleid tentang kewajiban modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. Beleid yang tertuang dalam POJK Nomor 26/POJK.03/2015 tersebut mensyaratkan rasio modal minimum paling rendah 100% dari total modal minimum.
Pasal 2 ayat 2 ketentuan ini menyebutkan, penyediaan modal minimum terintegrasi dilakukan dengan cara menghitung rasio KPMM terintegrasi. Yakni, entitas utama menghitung total modal aktual (TMA) dengan menjumlahkan nilai nominal modal aktual masing-masing lembaga jasa keuangan atau secara konsolidasi.
OJK sendiri, seperti disebut pasal 3 POJK yang diteken tanggal 4 Desember 2015 itu berwenang, menetapkan modal minimum terintegrasi lebih besar dari modal minimum. "Apabila, OJK menilai konglomerasi keuangan menghadapi risiko yang membutuhkan penyediaan modal lebih besar," ujar Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK kepada KONTAN, Minggu (27/12).
Tidak cuma itu, OJK juga berwenang meminta anggota konglomerasi keuangan untuk mengerek permodalan mereka apabila berpotensi menimbulkan permasalahan permodalan atau terdapat kecenderungan penurunan modal yang dapat mengakibatkan modal konglomerasi keuangan berada di bawah kewajiban penyediaan modal minimum.
Adapun, modal minimum masing-masing industri keuangan sudah cukup jelas. Contoh, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Tahun 2012 yang mengatur modal bank sesuai profil risiko, bank dengan profil risiko peringkat 1, modal minimum yang ditetapkan sebesar 8% dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Beleid ini juga mewajibkan anggota konglomerasi keuangan untuk menyusun laporan kecukupan permodalan terintegrasi setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. Laporan kecukupan permodalan terintegrasi pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan Desember 2015.
"POJK ini tidak berubah dari rancangan yang ada. Memang, tidak ada usulan yang signifikan. Namun, karena aturannya masih baru, jadi ya belum masuk semua laporannya. Tetapi, kami meyakini, seluruh anggota konglomerasi keuangan bisa memenuhi ketentuan ini," pungkas Nelson.
Sekadar informasi, OJK mencatat terdapat 50 konglomerasi keuangan dengan total aset mencapai Rp 5.142 triliun atawa 70,2% dari total aset industri keuangan di Indonesia yang sebesar Rp 7.289 triliun. Makanya, seluruh konglomerasi keuangan wajib memenuhi ketentuan ini.
Sementara, para bankir mengaku akan mengikuti aturan main anyar dari wasit industri keuangan itu. "Ketentuannya sendiri masih baru, masih dipelajari. Yang pasti, kami siap untuk memenuhi," imbuh Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk.
Poin penting dalam aturan KPMM Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan
- Pasal 2 (1): Penyediaan modal minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100% dari total modal minimum (TMM).
- Pasal 5 (1): Dalam menghitung rasio KPMM Terintegrasi, entitas utama menghitung Total Modal Aktual (TMA) dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal aktual masing-masing lembaga jasa keuangan secara individu atau konsolidasi dengan perusahaan anak sesuai aturan masing-masing sektor keuangan
- Pasal 5 (2): TMA konglomerasi keuangan harus dikurangi dengan faktor pengurang modal berupa, penyertaan modal lembaga jasa keuangan kepada lembaga lain dan penempatan dana lembaga jasa keuangan kepada lembaga lain.
- Pasal 7 (1): Dalam menghitung rasio KPMM Terintegrasi, entitas utama menghitung Total Modal Minimum (TMM) dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal aktual masing-masing lembaga jasa keuangan secara individu atau konsolidasi dengan perusahaan anak sesuai aturan masing-masing sektor keuangan.
- Pasal 11: Dalam rangka penerapan manajemen permodalan terintegrasi, entitas utama wajib memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan permodalan, melakukan penilaian kecukupan modal, memantau dan menyampaikan laporan modal, memiliki sistem pengendalian intern yang memadai dan melakukan kaji ulang penerapan manajemen permodalan terintergrasi secara berkala.
- Pasal 13 (1): Entitas utama wajib mengidentifikasi indikasi double atau multiple gearing, excessive leverage, hambatan melakukan transfer modal dari satu lembaga jasa keuangan ke lembaga lainnya dan risiko yang signifikan mempengaruhi konglomerasi keuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News