Reporter: Nina Dwiantika |
JAKARTA. Proses divestasi saham Bank Mutiara sudah memasuki periode kedua. Artinya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan penasihat keuangannya, Danareksa Sekuritas, hanya memiliki kesempatan sekali lagi untuk mencari investor baru.
Mengacu ke Undang-Undang LPS tahun 2004, proses pengalihan kepemilikan bank yang diambil alih pemerintah ini, harus rampung pada tahun kelima setelah pemberian dana talangan (bailout). Karena penyelamatan bank bekas Bank Century ini terjadi tahun 2008, maka batas waktunya berakhir pada tahun 2013 mendatang.
Sialnya, hingga dua kali penawaran, tak ada satu pun investor yang mau membeli. Proses divestasi hanya mentok di tahap due diligence. Para peminat urung meneruskan penawaran karena menilai harga Bank Mutiara senilai Rp 6,7 triliun terlalu mahal.
Untuk mengatasi persoalan ini, muncul beberapa opsi. Salah satunya, membolehkan penggunaan obligasi rekapitalisasi untuk membeli 99% saham Bank Mutiara.
Wacana yang berkembang di Komisi XI DPR ini hendak menyasar dua hal. Pertama, mencegah penjualan Bank Mutiara sesuai harga pasar atau harga seadanya di tahun kelima. Jadi, ada kepastian saham Bank Mutiara dihargai Rp 6,7 triliun alias sesuai penyertaan modal. Artinya, negara tidak dirugikan.
Kedua, meringankan pengeluaran negara (APBN). Dengan memakai obligasi rekapitalisasi senilai Rp 6,7 triliun sebagai alat bayar, beban pokok utang pemerintah juga berkurang senilai sama. Angsuran bunga dan pokok utang pemerintah saban tahun juga ikut berkurang.
Payung hukum tidak ada
Di sisi lain, bank pemilik obligasi rekapitalisasi tak perlu merasa rugi karena "dipaksa" membeli Bank Mutiara di harga kelewat mahal. Sebab, selama ini mereka sudah menikmati pendapatan bunga dari surat utang. Lagi pula, lebih baik menggunakan bond recap untuk membeli aset, ketimbang menikmati pendapatan bunga yang kini hanya 3% per tahun.
Meski terlihat logis, ide ini sulit dieksekusi. Pangkal masalahnya ketiadaan payung hukum. Alasan serupa pernah mengganjal Bank BNI ketika ingin menukar obligasi rekapitalisasi miliknya dengan saham Bahana Sekuritas. DPR dan pemerintah kini tengah mencari jalan keluar atas persoalan hukum tersebut.
Sambil menunggu titik temu, Komisi XI DPR RI hanya bisa meminta bank yang sudah menjual obligasi rekapitalisasi ke pihak lain untuk menggunakan uangnya membeli saham Bank Mutiara. "Ada usul menggunakan dana hasil penjualan untuk beli Bank Mutiara," kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Selasa (11/9).
Misalnya, Bank Mandiri yang telah menjual obligasi rekapitalisasi ke Standard Chartered Singapura sebesar Rp 1,8 triliun dari sisa surat utang sebesar Rp 72 triliun. Bank terbesar ini juga berencana menjual obligasi rekapitalisasi yang dipegang lagi hingga Rp 5 triliun. "Jadi, semangatnya bank BUMN membantu proses divestasi Bank Mutiara," katanya.
Ekonom Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko, menilai pembelian Mutiara dari hasil obligasi rekapitalisasi merupakan hal positif karena dapat membantu negara. Namun, perlu ada kesepakatan harga antara pemerintah dengan politisi agar tidak memicu persoalan baru di kemudian hari. Jika bank membeli Mutiara di bawah harga Rp 6,7 triliun dikhawatirkan ada indikasi korupsi harga. Pengelola bank tentu ingin bertindak hati-hati "Jangan sampai ada kerugian," katanya. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News