Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan suku bunga dasar kredit (SBDK) untuk kendaraan bermotor. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengungkapkan, hal ini dilakukan karena adanya peningkatan risiko di sektor tersebut.
Salah satu hal yang sedang dikaji adalah mengenai skema bunga kredit kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat.
"Kredit kendaraan selama 4 tahun-5 tahun dengan bunga efektif. Setelah dilakukan penghitungan, nilai kendaraan tersebut ternyata dibawah dari nilai kredit yang dilunasinya. Dana cukup besar yang dikeluarkan masyarakat untuk mencicil sebenarnya dapat dipakai untuk kegiatan investasi lainnya," kata Agus di Gedung BI, Jakarta, Jumat (17/1).
Dalam informasi biro kredit BI, suku bunga dasar kredit (SBDK) terdiri dari korporasi, ritel, konsumsi, dan mikro. Kredit pemilikan kendaraan bermotor masuk dalam SBDK konsumsi non KPR.
Otoritas moneter, pada tahun lalu telah mengeluarkan SBDK mikro. Informasi bunga dasar kredit itu dijadikan acuan bagi nasabah dalam menarik pinjaman kredit perbankan.
Dalam survei perbankan yang dilakukan BI, permintaan masyarakat akan kredit kendaraan bermotor masih tinggi. Hal ini terlihat dari saldo bersih tertimbang (SBT) pada kuartal IV tahun 2013 yang naik 7,1% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Besarnya permintaan tersebut mendorong margin (spread) antara bunga dana dan bunga kredit untuk sektor kendaraan bermotor pada tahun ini yang diperkirakan menjadi 7,68%. Padahal, marjin pada sektor KPR/KPA sebesar 6,05%.
Survei ini dilakukan pada 42 bank yang berkantor di Jakarta dengan porsi kredit mencapai 80% dari total kredit perbankan nasional. Survei ditujukan untuk mengetahui informasi kebijakan perbankan dalam penyaluran kredit, penghimpunan dana, dan penentuan suku bunga, serta permintaan dan penawaran kredit baru.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Darsono menyatakan, hasil kajian yang saat ini sedang dilakukan adalah untuk melengkapi informasi mengenai SBDK. Ia memastikan,kajian ini dilakukan bukan untuk menekan pertumbuhan kredit, melainkan untuk tujuan memitigasi risiko.
"Kami kaji secara komprehensif, semua segmen baik tiap sektor maupun Sub sektor, untuk memitigasi risiko," ujarnya.
Darsono bilang, potensi meningkatnya risiko ini terjadi karena sejumlah tekanan. Kondisi perlambatan ekonomi nasional, kenaikan tingkat suku bunga acuan atau BI rate dan juga kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, menjadi variabel yang menekan kemampuan masyarakat dalam melunasi kreditnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News