kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Biaya Dana Mahal, Bank Berharap Kewajiban Giro Wajib Minimum 9% Diturunkan


Selasa, 09 April 2024 / 16:46 WIB
Biaya Dana Mahal, Bank Berharap Kewajiban Giro Wajib Minimum 9% Diturunkan
ILUSTRASI. Bank akan menyambut baik jika giro wajib minimum (GWM) diturunkan sehingga likuiditas lebih longgar.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kondisi likuiditas perbankan tanah air yang mengetat, di saat laju pertumbuhan kredit yang terus naik membuat industri perbankan mengalami dilema dengan berbagai tantangan tahun ini.

Bayangkan saja, pemerintah mendorong industri perbankan untuk terus menggenjot penyaluran kredit saat tren suku bunga acuan masih tinggi sehingga berdampak pada biaya dana mahal. Belum lagi industri perbankan harus berebut segmen dana murah (CASA) demi menjaga dana pihak ketiga (DPK) tetap tumbuh menyeimbangkan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi.

Sementara itu untuk mengimbangi biaya dana yang mahal tadi, sejumlah bank terpaksa mengerek Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) sejak akhir Maret lalu, agar tetap mendapat profit dari margin bunga.

Adapun sejumlah bank sudah menaikkan SBDK awal kuartal II/2024 ini antara lain PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank BTPN Tbk.

Di sisi lain, sumber Kontan di kalangan perbankan menyebut, kewajiban penyetoran Giro Wajib Minimum (GWM) yang sebesar 9% kepada Bank Indonesia (BI), dirasa berat bagi bank dengan kondisi yang ada saat ini.

Maklum saja, disaat DPK seret, bank juga punya kewajiban mengalokasikan dana yang besar untuk ditaruh di BI. Sehingga alokasi DPK yang tadi bisa disalurkan untuk ekspansi kredit ataupun ditaruh di instrumen yang lebih menguntungkan bagi bank, menjadi berkurang porsinya.

Baca Juga: Sejumlah Bank Tawarkan Promo Suku Bunga KPR di Ramadan 2024

Meskipun BI sejak tahun lalu telah menaikkan insentif makroprudential berupa pelonggaran atas kewajiban penyetoran GWM menjadi 4%, dengan syarat bank menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas, salah satunya usaha mikro kecil menengah (UMKM). Namun tetap saja, bank merasa ini masih memberatkan mereka.

Sumber Kontan itu menyebut seluruh bank saat ini telah mengalami pengetatan likuiditas yang nyata. Alhasil mereka ingin meminta agar BI dapat menurunkan rasio GWM 9%.

Direktur Distribution & Funding PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Jasmin membenarkan kondisi likuiditas yang mengetat di bank saat ini.

"Likuiditas memang cukup ketat meskipun BI telah banyak memberikan berbagai insentif untuk penurunan GWM bagi bank ynng menyalurkan pembiayaan di sektor tertentu. Namun BTN akan menyambut baik jika GWM diturunkan sehingga likuiditas lebih longgar," kata dia kepada Kontan belum lama ini.

Tahun lalu, DPK BTN tercatat sebesar Rp 349,93 triliun, meningkat 8,7% YoY. Dana murah mencapai Rp 188 triliun atau naik 20,4% secara tahunan. Sehingga komposisi dana murah BTN mencapai 53,7% terhadap total DPK.

Namun, pertumbuhan kredit BTN masih lebih tinggi, tumbuh 11,9% YoY menjadi Rp 333,7 triliun, dimana segmen KPR subsidi tumbuh 10,9% menjadi Rp161,74 triliun dan KPR non subsidi naik 9,5%  menjadi Rp 96,17 triliun pada tahun 2023. 

Senada, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan mengatakan, saat ini pihaknya terbilang masih memiliki likuiditas yang cukup longgar. Namun dia tetap berharap adanya penurunan GWM dari BI.

"Tetapi memang saat ini relatif biaya dana masih belum turun sehingga masih agak sulit untuk mempertahankan margin. Jika GWM bisa lebih rendah akan lebih membantu, termasuk juga untuk bunga kredit," kata dia kepada Kontan.

Lani merinci, saat ini likuiditas CIMB Niaga memadai dengan Loan to Despot Ratio (LDR) dikisaran 85%, serta DPK terutama CASA yang masih dapat tumbuh di 8,5% di 2023. 

Asal tahu saja, baik BTN dan CIMB Niaga kompak menaikkan SBDK mereka pada akhir Maret lalu. Kenaikan ini disebut sebagai imbas dari mahalnya biaya dana, alhasil upaya yang dilakukan untuk tetap profit dan menjaga margin bunga bersin (NIM) adalah dengan mengerek SBDK.

"Mau tidak mau kita harus rasional, jika bunga DPK tetap tinggi maka bunga kredit juga harus naik," kata Lani.

Baca Juga: Pertahankan NIM, Sejumlah Bank Ini Kerek Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) di Awal 2024

Sementara itu pengamat perbankan, Senior Faculty LPPI Amin Nurdin mengatakan pengetatan likuiditas disebabkan persaiangan yang sengit di industri jasa keuangan. Bukan hanya berebut dengan bank digital, namun juga crowdfungding fintech, mengingat bunga yang mereka berikan tinggi dibandingkan bunga bank umum konvensional.

"Kalau pun dikurangi GWM, memang masih mungkin bisa digunakan untuk kredit berkualitas. Tapi ini juga cenderungnya sekarang kondisi juga, jadi ini dilema sebenarnya, kalau penempatan bank di BI besar sebenarnya bank itu harusnya bisa terbantu karena dananya aman," kata dia kepada Kontan.

Jika melihat data BI tahun 2023, DPK perbankan tercatat sebesar Rp 8.457,93 triliun per Desember. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 1.047,75 triliun ditempatkan pada instrumen BI. sementara sebanyak Rp 17,58 triliun di tempatkan sebagai kewajiban kepada BI.

Sementara itu sebanyak Rp 1.987,8 triliun ditempatkan di surat berharaga, dan kredit yang diberikan sebesar Rp 7.187,93 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×