Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejahatan serangan siber dari internasional yang menyerang industri jasa keuangan di Indonesia memang kerap terjadi. Serangan siber tersebut mencoba untuk membobol pertahanan sistem keamanan yang menyimpan data nasabah/pelanggan. Jika berhasil maka data nasabah dapat diperjual belikan di situs internasional.
Cyber Crime ini sejak dulu sudah terjadi, bahkan pernah menimpa bank sentral seperti Bank Indonesia, sementara untuk perbankan seperti kasus yang menimpa Bank Jatim, BSI, asuransi hingga perusahaan pembiayaan modal ventura dan perusahaan fincance technology (fintech).
Asal tahu saja, Indonesia menurut data Cyber Threat Intelligence (CTI) dari CyberProof 2021, Indonesia menjadi sasaran empuk dengan serangan siber tertinggi di dunia dan masuk urutan ke 4 dari 10 negara yang paling sering dapat serangan siber.
Kasus-kasus tersebut di mayoritas terjadi karena peretasan serangan siber yang berasal dari luar negeri, dengan kata lain ini adalah kejahatan pembocoran data level internasional yang pada kenyataannya tidak bisa diusut tuntas atau dipidanakan karena proses yang rumit dan harus bekerja sama dengan negara asal pelaku.
Baca Juga: Polri Berencana Bentuk Direktorat Siber di 9 Wilayah Polda
“Pengungkapannya (cyber crime) ini kan kita harus bekerjasama dengan negara-negara tersebut mungkin kendalanya juga cukup banyak," kata Kepala Biro Pengawas Penyidikan (Karowassidik) Bareskrim Polri Brigjen Iwan Kurniawan dalam acara webinar Melawan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital, Senin (21/8).
Di sisi lain, karena tidak bisa diusut tuntas, maka industri perbankan hanya diharuskan untuk memperkuat pertahanan sistem keamanannya agar tidak bisa ada celah untuk dibobol oleh para hacker.
Belum lagi terkait dengan tindak pembobolan data nasabah melalui modus phising dengan mengelabui korban melalui link tautan apk yang dikirimkan, jika korban mengklik maka data pribadi yang berhubungan dengan jasa keuangan akan dapat diakses dan menyebabkan dana milik korban lenyap begitu saja.
Iwan menjelaskan, setidaknya ada dua jenis kejahatan siber, yakni terkait kejahatan dengan computer-crime, di mana sistem komputer ini yang menjadi target, dan yang kedua adalah kejahatan computer-related, yang memanfaatkan komputer untuk tindak pidana, ini termasuk modus penipuan online.
"Di Direktorat Siber sendiri, pengungkapannya pun sudah ada terkait penipuan ini, didukung lab forensik yang sudah masuk ISO sebagai pembuktian, dan juga harus kerja sama dengan luar negeri," kata Iwan.
Baca Juga: Antisipasi Kebocoran Data Nasabah di Perbankan, OJK dan Bank Lakukan Mitigasi Risiko
Kejahatan tersebut juga termasuk dalam peyadapan data pribadi, di mana dalam upaya pemberantasannya, tim siber akan turun.
"Tim kelopisian akan melakukan pembentukan hukum, tidak bisa berdiri sendiri, perlu bekerjasama dengan stake holder lain seperti BSSN. Jika dengan tersangka yang diluar, ada kerja sama negara dengan negara, police to Police, atau memanfaatkan intel kita," kata Iwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News