Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) tetap bergeming terhadap desakan banyak kalangan agar para pemegang kebijakan di sistem keuangan Indonesia, yakni BI dan pemerintah tak ragu menerapkan kebijakan pengendalian modal (capital control) sebagai respon atas kian derasnya aliran modal asing ke dalam negeri. BI menilai, kebijakan capital control ibarat pedang bermata dua yang lebih baik disimpan sampai kondisi amat darurat terjadi.
"Banyak kita mendengar perlunya bagi kita mengambil kebijakan capital control, namun saya melihat sejauh ini beberapa langkah kebijakan yang telah kita ambil cukup efektif. Meski tentu saja ruang untuk opsi-opsi kebijakan tambahan lainnya tetap terbuka," papar Gubernur BI Darmin Nasution dalam ceramah ekonomi di hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) bulan ini, yang draft pidatonya dipublikasikan pekan lalu di website BI, dan dikutip KONTAN hari ini (23/11).
Darmin menjelaskan, dalam tataran diskusi internasional, kebijakan capital control tidak lagi diharamkan apabila seluruh opsi kebijakan makro konvensional yang tersedia tidak lagi memadai untuk memitigasi dampak buruk dari lalu lintas modal yang ekstrem. Namun, ada persyaratannya sebelum itu diterapkan. "Capital control memiliki alasan kuat untuk menjadi bagian dari perangkat kebijakan dalam mengelola arus masuk modal apabila tekanan inflasi meningkat, apabila kecukupan cadangan devisa sudah lebih dari optimal, apabila nilai mata uang domestik overvalued, juga apabila arus modal yang masuk mayoritas bersifat sementara (transitory)," paparnya.
Dia tidak menutup mata atas semakin banyak otoritas di sejumlah negara berkembang atau emerging market yang mulai mempertimbangkan untuk merancang dan menerapkan kebijakan capital control secara spesifik dan tepat sasaran. Sebut saja, Brazil yang menerapkan pajak terhadap transaksi pihak asing di pasar obligasi.
"Agar kebijakan capital control tersebut efektif maka sangat penting untuk dapat membedakan antara sumber dan jenis aliran modal. Lalu, mempertimbangkan secara hati-hati pilihan instrumen yang akan digunakan. Kemudian, memperkuat komunikasi dan kapasitas institusional, serta merancang mekanisme entry/exit dan penyesuaian terhadap instrumen yang telah ditetapkan," jelas Darmin.
Singkatnya, kata Darmin, instrumen capital control yang memerlukan perubahan minimal dari sistem yang sudah tersedia akan lebih mudah disesuaikan, dikomunikasikan, dan diimplementasikan. Masalahnya, instrumen capital control yang memerlukan perubahan mendasar dari sistem yang sudah ada dapat menimbulkan dampak psikologis yang lebih besar dan mungkin risiko gagal. "Singkatnya, capital control dapat saya ibaratkan sebagai pedang bermata dua yang sebaiknya disimpan sampai kondisi darurat sekali terjadi," pungkas Darmin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News