Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam dua bulan terakhir, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) cukup signifikan di tengah perlambatan penyaluran kredit.
Meski demikian, akselerasi yang terjadi pada pertumbuhan DPK tersebut perlu disikapi dengan hati-hati. Pasalnya, pertumbuhan DPK tersebut lebih banyak didorong dari simpanan korporasi ketimbang simpanan masyarakat.
Hingga Juli 2025, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan DPK perbankan mencapai 7% secara tahunan (YoY) dan periode ini menjadi yang paling tinggi sepanjang tahun berjalan.
Bahkan, pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2024 yang hanya mencapai 4,48% YoY.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut, akselerasi pertumbuhan tersebut lebih banyak terjadi di simpanan yang di atas Rp 5 miliar. Seperti diketahui, simpanan dengan nominal tersebut kebanyakan merupakan dana-dana korporasi.
Baca Juga: Ekspansi Kredit Perbankan Semakin Tak Bertenaga
Data LPS mencatatkan pertumbuhan simpanan di atas Rp 5 miliar tumbuh 9,4% secata tahunan (YoY) per Juli 2025. Sebagai perbandingan, pada Juni 2025 tumbuh 9,2% YoY dan pada Desember 2024 hanya tumbuh 4% YoY.
Mari bandingkan dengan nominal simpanan yang di bawah Rp 100 juta yang hanya tumbuh 4,8% YoY per Juli 2025. Padahal, pada Juni 2025 tumbuh 4,9% YoY dan di Desember 2024 bahkan tumbuh 5,1% YoY.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan ada beberapa penyebab yang menunjukkan DPK terakselerasi di kala kredit melambat. Salah satunya adalah adanya dorongan fiskal.
Josua bilang kebijakan fiskal yang ekspansif pada akhirnya mendorong peredaran kas ke rekening sektor publik. Pada tahap awal banyak mengalir ke giro atau tabungan, baru kemudian tersaring ke belanja/penempatan lanjutan.
Selain itu, ia juga melihat adanya dampak dari aliran valas eksportir yang dikonversi. Di mana, BI melaporkan 80% devisa hasil ekspor kini dikonversi ke rupiah.
“Sebagian menjadi dana operasional korporasi yang sementara parkir sebagai simpanan bank sebelum dibelanjakan, turut menambah likuiditas rupiah,” ujar Josua.
Dengan demikian, Josua menilai perbaikan likuiditas saat ini terbilang masih terbatas. Artinya, kelonggaran itu belum dirasakan seragam di lintas bank maupun segmen dana.
“Secara sistemik likuiditas bukan kendala utama, kendati distribusinya masih ketat pada sebagian bank yang bergantung pada deposito berbiaya tinggi,” tambahnya.
Sementara itu, riset terbaru BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) pada 21 Agustus 2025 memberikan sinyal bahwa likuiditas perbankan dapat terganggu jika memang banyak mengandalkan dana korporasi. Dalam hal ini kaitannya denhan target penerimaan pajak di 2026 yang lebih tinggi.
Baca Juga: BI Akui Bank Lambat Lakukan Transmisi BI Rate terhadap Bunga Kredit
Seperti diketahui, Pemerintah menargetkan pertumbuhan penerimaan tahun fiskal 2026 sebesar 9,8%, yang didorong oleh kenaikan penerimaan pajak sebesar 13,5%.
Mereka menjelaskan bahwa peningkatan pembayaran pajak berarti akan aliran dana keluar dari sektor swasta ke rekening pemerintah di Bank Indonesia semakin besar. Alhasil, ini dapat sementara mengurangi likuiditas dalam sistem perbankan.
Oleh karenanya, BRI Danareksa Sekuritas menilai dampak terhadap sektor perbankan akan sangat bergantung pada keseimbangan antara pengetatan likuiditas akibat pajak dan dorongan dari belanja fiskal, serta pada timing dari aliran tersebut.
Jika pemerintah menyalurkan penerimaan pajak dengan cepat ke dalam belanja, bank akan mendapat manfaat dari aktivitas ekonomi yang lebih kuat dan kualitas kredit yang membaik.
“Dalam skenario terbaik, likuiditas swasta hanya mengalami penurunan singkat sebelum aliran balik fiskal yang cepat kembali mendukung momentum pertumbuhan,” jelas BRI Danareksa Sekuritas.
Direktur Network and Retail Funding BTN Rully Setiawan bilang peningkatan DPK di industri memang lebih disebabkan oleh kenaikan setoran dana di rekening-rekening pemerintah. Ini seiring dengan belanja pemerintah yang umumnya lebih tinggi pada semester II dibandingkan semester sebelumnya.
Terlebih lagi, ia bilang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga terus menekankan dukungan pemerintah terhadap sejumlah program prioritas, termasuk di antaranya program pembangunan perumahan nasional.
Kendati pertumbuhan DPK menunjukan perbaikan, Rully bilang likuiditas tetap perlu menjadi perhatian karena DPK harus mengimbangi pertumbuhan kredit ketika nantinya industri sudah akselerasi dan permintaan kredit meningkat.
“Untuk BTN, likuiditas sangat penting, sehingga prinsip BTN adalah pertumbuhan kredit akan selalu mengikuti kondisi likuiditas,” ujar Rully.
Sementara itu, Direktur Network and Retail Funding BNI Rian Kaslan mengungkapkan seiring dengan arah kebijakan moneter, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) industri, termasuk BNI, menunjukkan tren positif, terutama ditopang oleh peningkatan CASA baik dari giro maupun tabungan.
Rian bilang peningkatan ini juga didukung oleh kepercayaan nasabah korporasi maupun ritel yang menempatkan dananya di BNI, sedangkan pertumbuhan deposito cenderung lebih moderat.
“Secara umum, kondisi likuiditas BNI saat ini dalam posisi yang sehat dan terjaga,” ujar Rian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













