Reporter: Ahmad Ghifari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan teknologi finansial (fintech) bersiap memberikan layanan tambahan kepada lender atau pemberi pinjaman agar dana lender masuk portofolio investasi seperti reksadana. Salah satu perusahaan yang akan bermain di layanan ini ialah PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).
Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot mengatakan, pihaknya telah memberikan aturan main mengenai hal ini yakni melalui POJK Nomor 39/POJK.04/2014. "Di peraturan tersebut agen penjual efek reksadana (APERD) dapat membuka gerai penjualan bekerjasama dengan pihak lain yang memiliki jaringan luas. Kerjasama APERD ini tentunya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan," kata Sekar kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Baca Juga: Saldo uang elektronik bank menyusut Rp 200 miliar dalam sebulan, ada apa?
"Dalam hal ini fintech platform sebagai gerai penjualannya. Resiko selama diinvestasikan tetap ada di pemilik dana atau lender," tambah Sekar.
Dalam peraturan ini, dibuka kesempatan bagi pihak selain perbankan untuk dapat menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) sehingga dapat memberi peluang yang lebih luas dalam memasarkan efek reksadana kepada calon investor yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah dana kelolaan reksadana dan memperluas basis investor.
Pihak-pihak tersebut meliputi perusahaan efek, perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang pos dan giro, perusahaan pergadaian, perusahaan perasuransian, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan perusahaan penjaminan serta perusahaan efek yang khusus didirikan untuk memasarkan efek reksadana.
Disamping memperluas pihak yang dapat melakukan penjualan efek reksadana dalam peraturan ini juga diatur peningkatan capacity building Agen Penjual Efek Reksa Dana melalui pengaturan terkait kegiatan dan perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana.
Baca Juga: Butuh dana Rp 32,89 triliun, begini skema penyelamatan Jiwasraya
Peningkatan capacity building Agen Penjual Efek Reksa Dana tersebut, diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum dan kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana terhadap peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya dapat melindungi masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. "Hingga saat ini kami masih memakai peraturan tersebut," jelas Sekar.
Pemain fintech peer to peer lending PT Kredit Pintar Indonesia mengaku membuka peluang untuk menawarkan pilihan kepada lender untuk menempatkan dana di instrumen reksadana di masa datang. CEO Kredit Pintar Wisely Wijaya mengatakan saat ini masih melihat ada sisi menarik dan tidaknya tergantung bagaimana cara melihatnya.
"Jika dilihat dari segmen orang yang memberikan investasi reksadananya, industri ini masih baru dan kemungkinan akan berubah ke depannya sehingga saya melihat momentumnya belum ada jika kita membuka retail lender," kata Wisely Wijaya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11). Wisely mengatakan saat ini pihaknya masih dalam tahap riset dan analisa perkembangan market.
Wisely yang juga sebagai Wakil Kepala Eksekutif Fintech Pendanaan Multiguna mengatakan, ada pihak ketiga yang menyediakan produk reksadana yang menempatkan produknya di fintech peer to peer lending. "Dari situ apabila ada lender yang ingin membeli atau menggunakan produk reksadana bisa melalui fintech, jadi fintech hanya sebagai agen bila ada agen yang membeli," kata Wisely Wijaya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Baca Juga: Tingkatkan kredit, OJK minta bank berfokus pada core business
Keuntungannya, pengguna dari fintech tersebut memiliki pilihan varian produk yang lebih banyak. "Reksadana akan ada imbal hasilnya, tapi bukan dari platform namun dari pihak ketiga yang memiliki produk tersebut. Peer to peer tidak boleh menjadi penyedia layanan reksadana," jelas Wisely .
Sedangkan untuk imbal hasilnya, Wisely memproyeksi bisa berada di kisaran 8% hingga 20% per tahunnya.
Sementara itu, Andrisyah Tauladan, Direktur PT Pintar Inovasi Digital alias Asetku mengatakan, penyelenggara fintech peer to peer lending secara umum tidak diizinkan untuk melalukan usaha lain selain usaha mempertemukan borrower dengan lender. Dengan dasar ini, Asetku menilai tidak bisa memberikan jasa mempertemukan lender dengan instrumen investasi seperti reksadana dan lainnya.
Menurutnya, izin menyalurkan dana lender ke instrumen investasi lain hanya bisa diberikan secara khusus oleh OJK kepada LJK tertentu. Dalam hal ini, LJK seperti penyelenggaraan peer to peer lending harus melakukan proses perizinan yang lain dan berbeda serta memakan sumber daya untuk dapat menyalurkan dana lender ke instrumen investasi seperti reksadana.
"Asetku yang sekarang ini masih berfokus untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas fitur produk, demi memberikan pengalaman pendanaan terbaik, termudah, ter-simpel di industri fintech Indonesia bagi para lender Asetku," kata Andrisyah kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Baca Juga: Dorong DPK, Bank BTN merelokasi kanwil Jawa Timur
Di sisi lain, PT Mitrausaha Indonesia Group atau Modalku sampai saat ini Modalku masih fokus pada pembiayaan UMKM di Indonesia yang berpotensi namun belum mendapatkan akses ke pendanaan. Co-Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Modalku Reynold Wijaya mengatakan, sebagai alternatif investasi pemberi pinjaman, Modalku juga menawarkan pembelian SBN secara online seperti SBR, sukuk, serta ORI.
"Kami akan terus mengembangkan layanan kami untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, baik untuk peminjam maupun pemberi pinjaman sehingga tercipta inklusi keuangan," kata Reynold kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News