kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Fintech merajai uang elektronik berbasis server, bank hanya 0,2%


Jumat, 05 April 2019 / 06:15 WIB
Fintech merajai uang elektronik berbasis server, bank hanya 0,2%


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski baru seumur jagung, financial technology (fintech) mulai bersaing dengan perbankan, terutama dalam segmen transaksi uang elektronik berbasis server. Uang elektronik dibedakan menjadi dua jenis, yakni berbasis cip dan berbasis server.

“Untuk yang berbasis server memang 99,8% pasar dikuasai oleh nonbank sedangkan sisa 0,2% baru dikuasai bank,” kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta, Kamis (4/4).

Sementara untuk uang elektronik berbasis cip, Filianingsih bilang pangsa pasar memang masih dikuasai perbankan sebesar 83,3%. Sementara sisa 16,7% baru dikuasai nonbank.

Lembaga nonbank disebutkan Filianingsih juga memiliki lebih banyak pengguna, dan nominal dalam satu kali transaksinya (ticket size). “Pengguna uang elektronik nonbank mencapai 113,5 juta, sementara dari bank sebanyak 60,3 juta. User nonbank juga punya ticket size yang lebih besar, dengan rata-rata Rp 33.000, sedangkan user bank hanya Rp 13.000,” imbuh dia.

Ticket size lembaga nonbank lebih besar lantaran transaksi lebih banyak dilakukan untuk belanja ritel. Sedangkan uang elektronik dari bank lebih banyak digunakan untuk kebutuhan transportasi.

Filianingsih tak merinci berapa volume maupun transaksi uang elektronik yang dilakukan perbankan maupun nonbank. Sementara dari data bank sentral, sejak Januari-Februari 2019 saja, transaksi uang elektronik secara keseluruhan telah mencapai Rp 11,78 triliun.

Sedangkan sepanjang 2018 lalu, tercatat transaksi uang elektronik mencapai Rp 47,19 triliun, melonjak 281,39% (yoy) dibandingkan 2017 dengan nilai transaksi sebesar Rp 12,37 triliun.

Hingga Maret 2019, dari catatan BI sudah ada 36 penerbit uang elektronik berbasis server. Sebelas penerbit berasal dari perbankan. Sedangkan 25 penerbit lainnya adalah dari lembaga non bank.

PT Bank Central Asia Tbk (BBCA)  terus memacu transaksi uang elektroniknya melalui platform Sakuku. Direktur BCA Santoso Liem bilang, pihaknya terus meningkatkan transaksinya dengan menambahkan fitur yang relevan. Misalnya untuk pembelian data internet, voucer gim, hingga beragam promosi makanan, hingga hiburan.

“Tahun lalu pertumbuhan volume transaksi Sakuku mencapai 175%, sementara pertumbuhan nominalnya mencapai 200% dengan pengguna kurang lebih 700.000,” kata Direktur BCA Santoso Liem saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/4)

Meski demikian, Santoso bilang sejatinya perbankan punya model bisnis yang berbeda dengan fintech ihwal uang elektronik berbasis server tadi. Sebab, perbankan sekadar menyediakan jasa keuangan, bukan menjual barang atau jasa.

Ia memberi contoh transaksi melalui Go Pay atau Ovo misalnya punya basis layanan ride hailing dari Go Jek, dan Grab. LinkAja sebagai platform pembayaran pelat murah pun demikian. Meski ada anggota Himpunan Bank Negara (Himbara), Telkomsel yang jadi ujung tombaknya dengan dengan menyediakan data internet.

“Ada sedikit perbedaan model bisnis, Sakuku tidak menyediakan barang karena basisnya kami bekerja sama dengan nasabah. Sementara perusahaan teknologi seperti Go Pay, OVO setidaknya menyediakan jasa, termasuk dari Himbara yang vehicle-nya cenderung ada di Telkom,” papar Santoso.

Selain bank skala nasional, bank daerah pun tak mau ketinggalan. PT Bank Pembangunan Daerah Sumatra Selatan dan Babel juga tengah menyiapkan platform uang elektronik berbasis server yang dapat digunakan kelak melalui platform QR code.

“Kami sedang merencanakan untuk e-money server based, sembari menunggu standardisasi QR code dari Bank Indonesia,” kata Direktur Pemasaran Bank Sumsel Babel Antonius Prawiro Argo kepada Kontan.co.id.

Sedangkan hingga Maret, uang elektronik berbasis cip milik BPD Sumatra Selatan dan Babel bertajuk BSB Cash telah tersebar sebanyak 65.552 kartu. Dengan nilai transaksi per bulannya rata-rata senilai Rp 200 juta. Antonius bilang tahun ini pertumbuhan uang elektronik milik BPD Sumatra Selatan dan Babel ditargetkan mencapai 25%.

Sebelumnya, Danu Wicaksana, CEO PT Fintek Karya Nusantara (Finraya) sebagai pengelola LinkAja menyatakan saat ini semua uang elektronik berbasis server milik perusahaan pelat merah telah bermigrasi ke LinkAja.

“Saat ini kami sudah melakukan migrasi, sehingga e-money server based tersebut sudah tidak aktif lagi,” kata CEO PT Fintek Karya Nusantara (Finraya) Danu Wicaksana kepada Kontan.co.id.

Melalui migrasi ini, Unikqu milik PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), T-Bank dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan e-cash punya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan T-Cash milik PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) telah rampung bermigrasi ke LinkAja oleh PT Fintek Karya Nusantara (Finraya) sebagai pengelola.

Selanjutnya, Danu bilang juga akan mengintegasikan platform QR milik anggota Himbara tadi. Yaitu Yap milik BNI, My QR dari BRI, dan Mandiri Pay punya Bank Mandiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×