Reporter: Ferrika Sari | Editor: Anna Suci Perwitasari
Seperti diketahui, pada 4 November 2015, dilakukan penandatanganan MoU untuk pembelian saham Harvest Time sebesar 18% atau senilai Rp 1,20 triliun. Penandatanganan ini diwakili oleh Direktur Utama Asabri dan disaksikan oleh Kepala Divisi Investasi Asabri.
BPK menemukan sejumlah permasalahan dalam proses penyertaan saham Asabri di sana, di antaranya tidak menunjuk konsultan independen untuk melakukan uji tuntas serta studi kelayakan dalam dalam pembelian saham tersebut.
Selain itu, pembayaran uang muka dalam bentuk penyertaan modal Harvest Time tidak diungkap dalam Revisi Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2015. BPK juga menilai, kesepakatan tersebut bukan dalam rangka pembelian saham PT Hanson Internasional Tbk tetapi saham WcS. Anehnya lagi, porsi jumlah saham yang disepakati tidak sesuai dengan kepemilikan WcS di Harvest Time.
Baca Juga: Wah, Harga Saham yang Dikoleksi Jiwasraya dan Asabri Melonjak Tinggi
“Tapi Asabri tetap melakukan transfer ke WcS untuk pembelian 18% saham senilai Rp 802 miliar meski saham tersebut tidak pernah diterima karena telah dijual kepada pihak lain,” papar laporan tersebut.
Temuan lainnya, yakni soal pembelian tanah senilai Rp 732 miliar kepada PT BJT menggunakan sertifikat tanah yang merupakan agunan bank. BPK, menilai pembelian tanah tersbeut merupakan cara untuk membatalkan pembelian saham milik Benny Tjokrosaputro di Harvest Times.
Dengan begitu, proses pembelian dan penyelesaian saham tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terlebih, pembelian tanah kavling siap bangun itu tidak sesuai dengan PMK nomor: 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
“Pada aturan tersebut disebutkan, perusahaan asuransi hanya diperkenankan untuk berinvestasi pada tanah dan bangunan,” tulis laporan itu.