Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kasus penipuan fintech pinjam-meminjam online atau peer to peer (P2P) turun drastis sebanyak 45,08% dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini dinilai tidak terlepas dari upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kontribusi sejumlah lembaga terkait jasa keuangan di Indonesia.
Kasus penipuan melalui platform tekonologi atau fintech peer to peer pada 2010 disebut mendominasi pengaduan di antara industri jasa keuangan. Tapi data OJK mengungkapkan, dalam periode 2018 hingga 2020, pengaduan kasus pinjaman Peer to Peer (P2P) turun sebesar 45,08%.
“Ini satu hal yang perlu diapresiasi sebagai peran optimal dari OJK melalui upaya yang dilakukan untuk perlindungan konsumen. Jumlah kasus yang terjadi turun hampir setengah dari kasus sebelumnya,” jelas Analis Eekonomi Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Fadli Hanafi, dalam webinar bertema ‘Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan di Era Pandemi COVID-19’, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/12).
Selain penurunan pengaduan fintech P2P, pengaduan kasus transaksi keuangan ilegal untuk produk keuangan lain juga berkurang. Kondisi tersebut, menurut Fadli, berkebalikan misalnya dengan tahun 2016. Saat itu pengaduan terbesar ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berasal dari sektor sektor perbankan. Lalu leasing berada di urutan kelima, serta asuransi di urutan kesembilan dari 10 besar produk ekonomi.
Sementara data Bareksa dan Satgas Waspada Investasi OJK menunjukkan, kasus MLM ilegal juga turun sebesar 43,37 persen, kasus cryptocurrency turun 53,85 persen, dan forex atau future trading berkurang 67,26 persen.
“Soal angka harus diapresiasi untuk seluruh pemangku kepentingan dan kepada OJK karena dengan begitu, upaya perlindungan konsumen ini terlihat mulai membuahkan hasil,” imbuh Fadli.
Untuk meningkatkan peran fintech dalam perekonomian, sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat, dia merekomendasikan penguatan eksistensi dan kewenangan OJK. Hal ini diperlukan untuk memperkokoh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap pelaku industri jasa keuangan.
Pemerintah, tambahnya, juga perlu meningkatkan peran lembaga investasi resmi untuk melakukan edukasi dan sosialiasi perlindungan konsumen. Kampanye OJK diharapkan tidak hanya fokus pada pemanfaatan produk sektor keuangan, khususnya non-bank, tetapi lebih kepada konten edukasi dan sosialisasi perlindungan konsumen. Selain itu, masyarakat diminta cerdas dan proaktif mempelajari produk keuangan yang ingin dibeli.
Di sisi lain, Fadli juga mengatakan masih ada catatan yang perlu perbaikan dan diatasi. Menurutnya, masih ada kenaikan di kasus gadai ilegal sebesar 10,29 persen dan investasi uang 58,33 persen. “Kondisi ini tidak terlepas dari masih banyaknya tantangan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan Indonesia. Seperti efektivitas implementasi regulasi, peran pelaku sektor jasa keuangan dalam edukasi dan sosialisasi, serta pengetahuan masyarakat untuk bertransaksi secara cerdas,” ungkapnya.
Jika tantangan ini dapat diatasi, dia meyakini potensi fintech akan sangat besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Data tahun 2019, mayoritas fintech di Indonesia mendapatkan pendanaan seri A kisaran Rp500 juta sampai lebih dari Rp80 miliar. Porsi terbesar terdapat pada pendanaan dengan kisaran dana Rp3 miliar hingga Rp34 miliar dengan total proporsi sebesar 46 persen.
Terdaftar di OJK
Di forum yang sama, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito, mengakui literasi masyarakat terhadap produk keuangan memang masih rendah. Kondisi ini menjadi celah bagi pelaku kejahatan keuangan untuk melakukan penipuan kepada nasabah.
Namun, dia mengingatkan dalam melindungi konsumen tugas OJK dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 11 tentang OJK. Salah satu klausul dalam UU tersebut menyebutkan, konsumen adalah orang atau badan yang menempatkan dananya di lembaga jasa keuangan, mulai dari perbankan, pasar modal, asuransi, dan dana pensiun yang terdaftar dan berizin.
“Memang OJK hanya mengatasi yang terdaftar dan berizin. Jadi, tidak ada Undang-undang yang menangani yang ilegal. Jadi kalau dia nabung di bank gelap, dia tidak termasuk konsumen yang diatur dalam Undang-Undang OJK,” paparnya.
Sarjito mengingatkan agar masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam investasi-investasi yang tidak berizin. Jika ada keraguan, jelasnya, hubungi contact center OJK. Bisa melalui Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen atau menghubungi Nomor Pengaduan 021-157, pesan whatsapp di nomor 081157175157, insragram Kontan 157 dan akun facebook Kontan 157 OJK.
Sementara itu, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Rizal Edy Halim, mengatakan penanganan kasus fintech membutuhkan dukungan lebih teknis, termasuk law enforcement. Dia menyebutkan celah terbesar yang perlu diwaspadai OJK untuk penipuan traksaksi keuangan adalah pada masa percobaan pelaku usaha untuk mendapatkan izin OJK.
“Proses pendaftaran dan proses perizinan perlu diperhatikan. Prosesnya kan mendaftar dulu. Setelah mendaftar tidak langsung diberikan izin, ada pengamatan satu tahun dan dievaluasi apakah diberikan izin atau tidak. Dalam proses ini sering terhadi pelanggaran hak-hak konsumen,” kata Rizal.
Dia mengakui perlindungan bagi konsumen yang berinvetasi di bank gelap masih di luar jangkauan OJK. Namun, masyarakat akan membeli investasi terdaftar dan memahami risiko jika mendapatkan edukasi yang tepat.
Selain itu, Rizal mengusulkan agar regulasi tentang perlindungan konsumen di Indonesia, termasuk di industri keuangan, bisa diintegrasikan. Sehingga Negara bisa memastikan memberikan perlindungan konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News