Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Imbal hasil investasi (return) yang ditawarkan oleh platform fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia masih tergolong tinggi dan menarik, khususnya bagi kalangan investor ritel.
Namun, tingginya potensi imbal hasil ini juga dibarengi dengan tingkat risiko yang tidak kalah besar.
Financial Planner dan Crypto Enthusiast, Aidil Akbar Madjid menyebut bahwa return sebesar 14% hingga 16% yang ditawarkan fintech lending saat ini tergolong sangat kompetitif, apalagi jika dibandingkan dengan kinerja instrumen investasi lain dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Imbal Hasil P2P Lending Menarik, tapi Risikonya Lebih Besar
“Kalau kita lihat, misalnya reksadana saham, bahkan ada yang 5–10 tahun terakhir kinerjanya minus. Jadi 14–16% itu masih sangat menarik,” ujar Aidil kepada Kontan, Kamis (3/7).
Namun demikian, ia menegaskan bahwa imbal hasil tinggi tersebut tidak datang tanpa konsekuensi. Return dua sampai tiga kali lipat lebih besar dibandingkan deposito atau surat berharga negara (SBN) juga berarti risikonya jauh lebih tinggi.
“Risikonya besar karena uang itu dipinjamkan langsung ke peminjam yang belum tentu mampu membayar. Berbeda dengan bank yang menanggung risiko kredit, di P2P lending, risiko sepenuhnya ditanggung lender. P2P hanya platform yang mempertemukan pemberi dan penerima pinjaman,” jelasnya.
Aidil menyoroti bahwa perlindungan melalui asuransi kredit belum cukup menjamin keamanan dana lender.
Saat ini, hanya sedikit perusahaan asuransi yang bersedia menjamin risiko kredit dari pinjaman di sektor P2P, dan itupun dengan skema terbatas.
Baca Juga: Celios:Imbal Hasil Fintech Indonesia Bisa Melebihi 20%, Lebih Tinggi dari Luar Negeri
“Bahkan ada yang menggunakan skema at-cost, artinya jika terjadi gagal bayar, nilai penggantian hanya sebesar premi yang diterima, bukan nilai pinjaman. Jadi tetap berisiko tinggi,” katanya.
Misalnya, untuk pinjaman Rp1 miliar dengan premi 10% atau Rp100 juta, jika terjadi gagal bayar, maka nilai penggantian hanya sebesar premi tersebut bukan nilai pokok pinjaman.
Sebagai langkah mitigasi, Aidil menyarankan agar para lender tidak menempatkan seluruh dana investasinya di P2P lending. Investasi harus dilakukan secara terdiversifikasi dan proporsional, khususnya dengan menggunakan dana dingin yaitu uang yang tidak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Jangan anggap ini seperti deposito. Perlakukan seperti investasi di saham atau kripto, di mana ada potensi keuntungan tinggi tapi juga potensi rugi besar. Paling aman, hanya 10%–20% dari total portofolio yang dialokasikan ke P2P lending,” sarannya.
Baca Juga: Ini 7 Langkah OJK Atasi Masalah Pinjaman Daring
Aidil juga mengingatkan pentingnya menyiapkan dana darurat, memiliki asuransi dasar yang memadai, dan membangun portofolio investasi yang sehat dengan kombinasi instrumen lain seperti SBN, emas, hingga reksadana, sebelum masuk ke P2P lending.
“Kalau semua dasar sudah beres, baru bisa masuk ke investasi yang lebih agresif seperti saham, kripto, atau P2P lending,” pungkasnya.
Selanjutnya: Sri Mulyani Tambah Target Penerimaan Rp 8,8 Triliun untuk Dirjen Bea Cukai Baru
Menarik Dibaca: Begini Cara Mudah Naikkan Limit Kartu Kredit yang Wajib Moms Tahu di 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News