Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia menawarkan imbal hasil investasi (return) yang jauh lebih tinggi dibandingkan platform sejenis di luar negeri.
Ia menyebut, jika di Eropa dan Amerika fintech P2P lending biasanya memberikan imbal hasil sekitar 12–17% per tahun, di Indonesia return bagi lender bisa mencapai lebih dari 20%.
“Bahkan, jika mengacu pada aturan bunga maksimal 0,3 persen per hari yang dibebankan kepada borrower, maka dalam 90 hari saja bunga akumulatifnya bisa melebihi 27%. Lender bisa mendapat sekitar setengahnya untuk periode yang sama, sehingga return investasi mereka tergolong sangat besar,” jelas Nailul kepada Kontan, Kamis (3/7).
Ia menambahkan, fenomena tingginya bunga ini lebih menonjol pada P2P lending ilegal yang bisa menjanjikan bunga hingga 10 persen per bulan karena tidak terikat regulasi.
Baca Juga: OJK: Roadmap Fintech Lending Punya Konsep yang Jelas dan Diatur Bersama Industri
Tingginya imbal hasil di P2P lending legal maupun ilegal ini, menurut Nailul, juga dipengaruhi oleh perbandingan lender dengan instrumen investasi lain. Kenaikan imbal hasil di instrumen lain seperti obligasi atau deposito akan mendorong lender menuntut return lebih tinggi di P2P lending, mengingat risikonya juga relatif besar.
“Lender akan selalu membandingkan risiko dan return. P2P lending yang risikonya tinggi, harus memberikan imbal hasil lebih besar daripada instrumen lain agar tetap menarik,” kata Nailul.
Baca Juga: Dukung Penguatan Industri Fintech Lending, OJK Lakukan Berbagai Langkah Kebijakan Ini
Namun, Nailul mengingatkan, dampak dari tingginya return bagi lender akan dibebankan ke borrower dalam bentuk bunga pinjaman yang lebih besar. Platform P2P lending mendapatkan keuntungan dari selisih bunga yang dibayarkan borrower dengan return ke lender, mirip konsep Net Interest Margin di perbankan. Jika bunga yang dibebankan terlalu tinggi, borrower bisa terbebani secara finansial.
“Untungnya, saat ini sudah ada regulasi batas atas bunga pinjaman yang ditetapkan otoritas, sehingga borrower terlindungi dari bunga yang terlalu mencekik,” pungkas Nailul.
Baca Juga: Celios: Pasar Jawa Mulai Jenuh, Fintech Lending Beralih Garap Indonesia Timur
Selanjutnya: Perbankan Genjot Fee Based Income Lewat Digitalisasi dan Ekosistem Baru
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Senam Kegel untuk Wanita, Bikin Orgasme Lebih Baik!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News