Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat perbankan Aviliani menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung Parlemen, pada Kamis (11/6). Ada sejumlah usulan dari pengamat ekonomi asal UI tersebut dalam pembahasan RUU Perbankan.
Pertama, ia mengusulkan bentuk bank yang selama ini terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diganti menjadi Bank Umum dan Bank Khusus. BPR bisa dimasukkan sebagai salah satu jenis dari Bank Khusus.
"Apabila tetap BPR seperti sekarang, mereka memiliki keterbatasan untuk berkembang," katanya.
Bank Khusus sendiri bisa dibagi berdasarkan sektor ekonomi. Misalkan Bank Pertanian, Bank Infrastruktur, Bank Investasi, dll. Kedua, Bank Khusus dibagi berdasarkan segmen skala usaha seperti Mikro, Kecil, Menengah dan Besar.
"Ketiga, Bank Khusus bisa dibagi berdasarkan cakupan wilayan operasional. Ada Bank Khusus nasional dan yang lokal. BPR nanti bisa masuk Bank Khsusu yang lokal," ujar Aviliani.
Kedua, ia mengusulkan pembatasan kepemilikan saham asing bisa saja diatur dalam UU Perbankan. Namun angka persentase batasan maksimal kepemilikan saham asing di perbankan Indonesia tak perlu disebutkan. Itu cukup dalam aturan di bawah UU. "Supaya lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi nasional dan kondisi global," ujarnya.
Ia mengingatkan pembatasan saham asing 40% di perbankan nasional akan membuat banyak bank yang saat ini sahamnya dikuasai asing hingga 99% terpaksa menjual sahamnya. Ini membutuhkan dana sebesar Rp 360 triliun yang belum tentu bisa dipenuhi pemodal dalam negeri. "Sehingga harus hati-hati mengatur soal ini," jelas Aviliani.
Ketiga, Aviliani setuju Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) diharuskan berbadan hukum Indonesia atau Perseroan Terbatas (PT). Saat ini KCBA yang ada mengikuti ketentuan dari Kantor Pusat yang merujuk aturan hukum dari negara asal bank asing bersangkutan.
Keempat, debitur kredit perbankan boleh saja diwajibkan memiliki NPWP. Namun ketentuan serupa juga harus diberlakukan pada pelaku jasa keuangan lain. Jika tidak, maka debitur bank tersebut bisa beralih mencari pinjaman pada money lender.
Kelima, pembahasan RUU Perbankan sebaiknya dilakukan bersamaan dengan RUU Bank Indonesia (BI) dan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Sebab membicarakan perbankan tak bisa dilepaskan dari peran BI selaku lender of the last resort. "Selain itu manajemen penanganan krisis juga harus diperkuat karena kapasitas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebetulnya terbatas jika harus menyelamatkan perbankan saat negara dalam kondisi krisis," urai Aviliani.
Keenam, RUU Perbankan juga harus memasukkan aspek pengawasan terintegrasi perbankan yang telah berkembang menjadi grup konglomerasi. Saat ini ada 50 bank di Indonesia yang telah berkembang menjadi grup konglomerasi jasa keuangan. "Ini juga harus menjadi pertimbangan," pungkas Aviliani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News