Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mencatatkan tingkat pelaporan dari koperasi simpan pinjam (KSP) masih rendah.
Berdasarkan Data Sektoral Risk Assessment yang dihimpun PPATK, dari tahun 2010 hingga Juni 2020 tercatat ada sebanyak 67.891 KSP.
Namun hanya 501 yang sudah teregister dan menyampaikan 297 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM). Selanjutnya, 2.451 laporan transaksi keuangan.
Rendahnya tingkat pelaporan koperasi bukan tanpa sebab. Direktur Pemeriksaan Riset, Pengembangan PPATK Ivan Yustiavandana menyebut, rendah tingkat pelaporan tersebut karena kesadaran koperasi juga masih rendah.
Baca Juga: Harusnya jadi pelapor, koperasi simpan pinjam masih malas kasih laporan ke PPATK
"Selain itu, penerapan sistem KYC (Know Your Customer) dan customer due diligence (CDD) atau Enhanced Due Diligence (EDD) masih lemah," kata Ivan, Kamis (11/6).
Ketiganya merupakan sistem untuk mengenal profil nasabah sebagai mitigasi risiko di lembaga keuangan. Sementara itu, pengawasan regulator yang tersentralisasi turut menyebabkan pelaporan koperasi ke PPATK rendah.
Meski demikian, PPATK akan jatuhkan sanksi bagi lembaga jasa keuangan tidak yang melapor. Sebab, pelaporan tersebut bersifat wajib.
Hal ini tertuang dalam ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari beleid itu, koperasi yang tidak melaporkan akan diganjar sanksi administratif seperti peringatan, teguran tertulis, pengumuman publik atas pelanggaran koperasi dan denda administrasi yang dimasukkan sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Sebelumnya, Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, koperasi merupakan bagian penting dari rezim pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT).
Baca Juga: Duh, ada koperasi jadi tempat pencucian uang hingga sarana kejahatan narkotika
Ada fakta yang meresahkan bahwa terdapat sejumlah kasus koperasi yang digunakan sebagai sarana pencucian uang maupun berbagai kejahatan lainnya.
Berbagai perkara terkait dengan Koperasi menelan kerugian hingga triliunan rupiah, seperti perkara yang menjerat Koperasi Langit Biru yang menelan dana nasabah hingga Rp 6 triliun, Koperasi Pandawa dengan kerugian Rp 3 triliun, hingga Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada sebesar Rp 3,2 triliun.
"Lebih jauh, terungkap juga Koperasi yang digunakan sebagai sarana kejahatan narkotika," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News