kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini sektor-sektor penyumbang NPL tertinggi menurut analis dan bankir


Kamis, 03 Desember 2020 / 20:41 WIB
Ini sektor-sektor penyumbang NPL tertinggi menurut analis dan bankir


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 sedikit banyak memberi dampak pada kinerja perbankan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan kredit yang melambat menjadi -0.47% secara year on year (yoy). Dampak yang serupa juga terjadi di sisi rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang menjadi 3,14% per September 2020. 

Meski begitu, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro menjelaskan kalau kualitas kredit sejatiya membaik dibandingkan posisi Agustus 2020 yang sebesar 3,22%. 

Walau terlihat meningkat tajam dari posisi Desember 2019 yang sebesar 2,53%. Menurut analis tim ekonom Bank Mandiri, NPL perbankan menunjukkan peningkatan tertingginya pada periode Maret 2020 hingga Juli 2020. Dengan level tertinggi sejauh ini di akhir Juli 2020 sebesar 3,22%. 

Baca Juga: Hasil investasi dana pensiun diproyeksi membaik di tahun depan

"Ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 yang mengakibatkan pelemahan pertumbuhan ekonomi, selanjutnya berdampak pada permintaan kredit dan penurunan kualitas kredit," katanya dalam analisis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (2/12). 

Lebih lanjut, analisa tersebut menunjukkan NPL tertinggi di bulan September 2020 terjadi pada sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar 6,32%. Itu pun menurun sebesar 5 basis poin (bps) secara bulanan (month on month/mom). Beberapa sektor lain yang ikut menyumbang NPL antara lain pertambangan dan penggalian sebesar 5,46%, perikanan 4,92% dan perdagangan 4,58%. 

Beberapa peningkatan NPL di sektor tersebut rupanya memang dialami oleh Bank Mandiri. Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengamini kalau pandemi memang memperparah sektor ekonomi yang sudah jatuh sebelumnya. 

"Sektor yang mendorong kenaikan NPL kami berasal dari pertambangan batubara, perdagangan mesin besar dan peralatan. Sektor-sektor ini umum telah terdampak pelemahan harga komoditas sebelum pandemi," katanya belum lama ini. Lantaran telah bermasalah sebelum pandemi, debitur-debitur pada sektor ekonomi tersebut disebut Siddik juga tak mampu dibantu bank dalam program relaksasi restrukturisasi dari OJK. 

Baca Juga: Eximbank realisasikan fasilitas program PEN senilai Rp 9,5 miliar

Khusus pada kuartal III-2020, Siddik mengaku memang rasio kredit macet perseroan meningkat tipis dari 3,39% pada kuartal II-2020 menjadi 3,47%. Adapun sampai akhir tahun rasio tersebut juga ditaksir masih akan meningkat di kisaran 3,50%. 

Segendang sepenarian, Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Vera Eve Lim menyebut tingkat risiko kredit di tengah pandemi memang meningkat. Tapi kabar baiknya, bank swasta terbesar ini masih mampu menjaga NPL jauh di bawah industri menjadi 1,9% di kuartal III 2020. 

Nah, berdasarkan catatan Vera, NPL BCA yang terbesar antara lain bersumber dari sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 4,4%. Selanjutnya, sektor manufaktur sebesar 1,5% dan sektor transportasi 1,2%. Beberapa sektor ini memang menjadi salah satu yang paling terdampak perlambatan ekonomi akibat pandemi. 

Walhasil, untuk menjaga tingkat kredit bermasalah atau NPL tetap terjaga, BCA sudah membukukan biaya pencadangan jumbo sebesar Rp 9,1 triliun. Angka tersebut meningkat sebesar Rp 5,6 triliun atau 160,6% secara year on year (yoy). Sejalan dengan peningkatan risiko dan kualitas kredit. 

"Di tengah tantangan yang dinamis saat ini, kami akan berupaya untuk menjaga NPL tetap berada di level aman," ujar Vera dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Kamis (3/12).

Baca Juga: Respons manajemen Bank BCA terkait keluhan konsumen soal mesin ATM yang eror

Beruntung, perbankan di Tanah Air diberikan sedikit keringanan dalam mengatasi NPL. Salah satunya lewat program restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 yang dikeluarkan di awal tahun 2020. Ketua Dewan Komisioner OJK bahkan pernah menyematkan kalau posisi NPL perbankan bisa mencapai 16% bila kebijakan tersebut tidak dikeluarkan. 

Hasilnya sejauh ini hingga 12 Oktober 2020 sudah ada Rp 918,34 triliun kredit yang direstrukturisasi. Keringanan itu diberikan kepada 7,5 juta debitur. Rinciannya, Rp 362,34 triliun ke 5,85 juta debitur UMKM dan Rp 555,99 triliun 1,65 juta debitur non UMKM. 

Sadar akan efek penurunan kualitas kredit akibat pandemi yang masih berlanjut, regulator pun belum lama ini telah memutuskan untuk memperpanjang kebijakan POJK 11 menjadi Maret 2022. Lebih lama satu tahun dari kebijakan sebelumnya. 

Selanjutnya: Bisnis kantor luar negeri bank pelat merah tumbuh positif di tengah pandemi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×